TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dino Patti: Kudeta Militer Myanmar Bertentangan dengan Piagam ASEAN

Militer tak boleh jadi hakim dan penengah pemilu

Founder FPCI Dino Patti Djalal (IDN Times/Aldzah Aditya)

Jakarta, IDN Times - Ketua dan Pendiri Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal mengaku prihatin dengan peristiwa politik yang terjadi di Myanmar beberapa pekan lalu. Dino mengatakan penahanan Daw Aung San Suu Kyi dan sekutu politiknya sebagai kemunduran yang pasti, dalam konsolidasi demokrasi Myanmar yang sudah sulit dalam beberapa tahun terakhir.

“Pengambilalihan militer dan pemberlakuan keadaan darurat selama satu tahun tidak memiliki dasar hukum, politik dan moral yang kredibel dan memang menciptakan preseden buruk lainnya bagi proses pembangunan bangsa Myanmar,” kata pemimpin asosiasi kebijakan luar negeri terbesar di Indonesia dan di Asia Tenggara tersebut kepada IDN Times, Selasa, 2 Februari 2021.

Baca Juga: Pemimpin Kudeta Myanmar Ajak Pendemo untuk Kerja Sama 

1. Kudeta bertentangan dengan Piagam ASEAN

(Eks Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal) www.instagram.com/@dinopattidjalal

Dino menilai peristiwa politik di Myanmar baru-baru ini merupakan anomali serius di ASEAN saat ini. Dia bahkan menyebut pengambilalihan militer di Myanmar bertentangan dengan Piagam ASEAN.

Piagam ASEAN menyatakan “rakyat dan negara anggota ASEAN untuk hidup dalam lingkungan yang adil, demokratis dan harmonis”, dan bertujuan “untuk memperkuat demokrasi, meningkatkan tata pemerintahan yang baik dan meningkatkan supremasi hukum, dan untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental”.

“Piagam ASEAN, yang ditandatangani oleh Myanmar, secara hukum mengikat negara-negara anggotanya. Kami juga mendesak ASEAN untuk terus dengan tegas mendesak Myanmar untuk memenuhi semangat Piagam ASEAN dan visi Komunitas Keamanan Politik ASEAN. Lagi pula, apa yang terjadi di Myanmar penting tidak hanya bagi Myanmar, tetapi juga untuk masa depan rumah kita bersama di Asia Tenggara,” kata Dino.

2. Militer tidak boleh jadi hakim dan penengah pemilu

Pengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.

Menanggapi kekacauan tersebut, Dino mengatakan, perbedaan elektoral tidak boleh diselesaikan dengan segala bentuk intervensi militer. Ia juga menegaskan militer di Myanmar seharusnya tidak menjadi hakim dan penengah pemilu.

Dino menyarankan demi kemajuan demokrasi di Myanmar berarti militer harus menjauh dari politik praktis, dan tidak memperkuat peran di dalamnya.

“Kami menyadari bahwa ada banyak pemilu di seluruh dunia yang tidak sempurna dan berantakan--dibebani oleh ketidakpercayaan, penyimpangan, dan kurangnya kepercayaan,” katanya.

“Namun, tugas itu seharusnya diserahkan kepada komisi pemilihan dan mahkamah konstitusi,” kata Dino, melanjutkan.

Baca Juga: Hubungan RI-AS di Era Biden, Dino Patti Djalal: Jangan Percaya Diri

3. Menyerukan pembebasan tanpa syarat

Penasihat Negara (setingkat Perdana Menteri) Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengenakan masker dan sarung tangan plastik saat menggunakan hak suaranya dalam Pemilu Myanmar 2020. (Facebook.com/Chair NLD)

Dino lebih lanjut mengatakan, FPCI menyerukan kepada pimpinan militer Myanmar untuk memastikan pembebasan tanpa syarat dan segera terhadap Daw Aung San Suu Kyi dan rekan-rekan politiknya, serta semua tahanan politik lainnya yang sekarang ditahan.

FPCI juga meminta militer untuk mengizinkan para tahanan untuk secara bebas menjalankan peran mereka yang sah dalam proses politik Myanmar.

“Daw Aung San Suu Kyi dan partai Liga Nasional untuk Demokrasi, yang mewakili sebagian besar rakyat Myanmar, juga harus diajak berkonsultasi secara dekat dalam setiap upaya militer untuk menyelesaikan krisis demokrasi ini,” kata Dino.

Menurut Dino, solusi sepihak atau eksklusif apapun tidak akan pernah menyelesaikan masalah politik yang mendasar di Myanmar.

“Dalam hal pimpinan militer, seperti yang diindikasikan akan mengadakan 'pemilihan baru', maka setiap langkah harus diambil untuk memastikan bahwa pemilihan dilakukan oleh komisi independen, dalam suasana kebebasan berbicara, adil dan bebas dari penindasan, dan akan memungkinkan pengamat internasional - terutama ASEAN--untuk memantau pemilihan. Pemilu di Myanmar harus ditentukan oleh keinginan rakyat dan bukan oleh elite politik,” katanya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya