Kasus ini berakar dari perjanjian yang dibuat Boeing dengan Departemen Kehakiman AS pada 2021. Perjanjian tersebut melindungi Boeing dari tuntutan pidana dengan syarat perusahaan membayar 2,5 miliar dolar AS (sekitar Rp40,8 triliun) dan mematuhi ketentuan tertentu selama 3 tahun.
Namun, situasi berubah pada Januari 2024. Sebuah panel pintu Boeing 737 MAX 9 terlepas saat penerbangan Alaska Airlines; hanya dua hari sebelum perjanjian 2021 berakhir. Insiden ini membuat Departemen Kehakiman menilai Boeing telah melanggar perjanjian.
Akibatnya, CEO Boeing, Dave Calhoun, menghadapi kritik keras dari Kongres AS terkait catatan keselamatan perusahaan. Di sisi lain, keluarga korban kecelakaan sebelumnya mendesak agar Boeing dikenai denda hingga 24,78 miliar dolar AS (sekitar Rp405 triliun).
Menghadapi tekanan ini, Departemen Kehakiman AS di bawah Jaksa Agung Merrick Garland berupaya mengubah pendekatan. Mereka kini lebih terbuka kepada keluarga korban. Pendekatan tersebut berbeda dengan penanganan kasus 2021 yang menuai kritik karena dianggap terlalu lunak terhadap Boeing.