Melansir Al Jazeera, Gedung Putih juga memberlakukan pembatasan visa bagi individu yang terlibat konflik. Namun, pihaknya tidak merinci nama-nama yang dimaksud.
“Meskipun ada kesepakatan gencatan senjata, kekerasan yang tidak masuk akal terus berlanjut di seluruh negeri, menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan, dan melukai mereka yang paling membutuhkannya,” kata Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan.
“Cakupan dan skala pertumpahan darah di Khartoum dan Darfur, khususnya, mengerikan,” sambung dia.
Untuk diketahui, perang antara Militer Sudan dan RSF pecah pada 15 April. Konflik tersebut menyebabkan ratusan orang tewas dan menelantarkan lebih dari 1,3 juta warga.
Sanksi tersebut dijatuhkan kepada dua perusahaan yang dipimpin ketua RSF Mohammed Hamdan Dagalo, di mana berbasis di Uni Emirat Arab dan Ibu Kota Sudan, Khartoum. Sementara dari pihak militer, hukuman diberikan kepada dua perusahaan industri pertahanan yang dikepalai Jenderal Abdel Fattah al-Burhan.
“Melalui sanksi, kami memotong aliran keuangan utama ke RSF dan Angkatan Bersenjata Sudan, merampas sumber daya yang mereka butuhkan untuk membayar tentara, mempersenjatai kembali, memasok, dan berperang di Sudan,” kata Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, mengutip Associated Press.
“AS berdiri di pihak warga sipil melawan mereka yang melanggengkan kekerasan terhadap rakyat Sudan,” sambung dia.