Bantuan Tersendat, Warga Gaza Mengemis Roti hingga Sembelih Keledai

Jakarta, IDN Times - Gempuran Israel di Jalur Gaza telah membuat truk bantuan tidak dapat menjangkau orang-orang yang kini mengalami kelaparan. Warga Gaza terpaksa meminta-minta roti, membayar 50 kali lebih mahal untuk sekaleng kacang-kacangan, dan menyembelih keledai untuk memberi makan keluarga
"Bantuan? Bantuan apa? Kami mendengarnya namun tidak melihatnya," kata Abdel-Aziz Mohammad, warga Gaza 55 tahun yang mengungsi di selatan.
“Dulu saya punya rumah besar, dua lemari es berisi makanan, listrik, dan air mineral. Setelah dua bulan perang ini, saya meminta sepotong roti. Ini adalah perang kelaparan. Mereka (Israel) memaksa kami keluar dari rumah, mereka menghancurkan rumah dan bisnis kami dan mendorong kami ke selatan, di mana kami bisa mati karena bom atau mati kelaparan," tambahnya.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), pada Kamis (14/12/2023), mengatakan bahwa distribusi bantuan yang terbatas terjadi di daerah Rafah, dekat perbatasan dengan Mesir. Di sana hampir setengah dari 2,3 juta penduduk Gaza diperkirakan tinggal.
“Di wilayah lain di Jalur Gaza, distribusi bantuan sebagian besar terhenti karena intensitas permusuhan dan pembatasan pergerakan di sepanjang jalan utama," kata OCHA.
1. Pengungsi yang kelaparan serbu truk bantuan
Dilansir Reuters, Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengungkapkan bahwa orang-orang telah menghentikan truk bantuan untuk mengambil makanan. Mereka yang kelaparan bahkan langsung memakannya di tempat.
Program Pangan Dunia (WFP) ,menyatakan krisis kelaparan yang sangat besar terjadi di Gaza pada 5 Desember. Organisasi bantuan tersebut mengatakan, mereka terpaksa menutup toko roti terakhirnya karena tidak memiliki bahan bakar atau gas. Sebelum perang, mereka mengelola 23 toko roti.
Dilansir CNN, warga Gaza mengatakan harga barang pokok telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Dalam beberapa kasus, harga 1,5 liter air naik dari dua shekel (sekitar Rp8 ribu) menjadi lima shekel (sekitar Rp21 ribu), sementara harga 25 kg tepung, yang biasanya 40 shekel (sekitar Rp168 ribu) telah mencapai 200 shekel (sekitar Rp843 ribu) dalam beberapa pekan terakhir.
Salah satu keluarga pengungsi di Deir Al-Balah mengatakan, mereka membayar 140 shekel (sekitar Rp590 ribu) untuk 1.000 liter air yang tidak dapat diminum.