Pelabuhan Beirut pasca ledakan amonium nitrat (4/8/2020). (Instagram/Beirutpage)
Berabad lamanya, di Beirut tiga kelompok agama hidup berdampingan, yaitu Kristen, Muslim Sunni, dan Muslim Syiah. Bahkan dengan jejak sejarah yang menyedihkan dari Perang Salib, dan memanasnya hubungan antara kelompok Sunni dan Syiah, ketiga kelompok ini sepakat berbagi kekuasaan dan peran.
Sampai kemudian, pada 1975, pecah perang saudara antara milisi Palestina dan milisi Kristen. Negara tetangga Lebanon, Suriah dan Israel ikut campur dalam perang itu, mendukung pihak yang berbeda. Iran, Prancis, Rusia, dan AS, lantas terlibat secara militer.
Dari 1975 sampai 1990-an, tidak kurang dari 120 ribu rakyat Lebanon terbunuh, puluhan ribu harus mengungsi, dan terjadi eksodus besar-besaran ke luar negeri. Pada 1980-an, tentara Israel invasi ke Lebanon. Israel menduduki kota Beirut dan memberlakukan keadaan darurat di sana.
Dalam upaya memerangi Israel, awal 1980-an, muncul Hezbollah, kelompok yang didukung Syiah Iran. Di antara manifesto Hezbollah, adalah tekad mereka untuk mengusir pihak AS, Prancis dan sekutunya dari Lebanon dengan alasan menghapuskan penjajahan dari tanah air Lebanon.
Pada 1983, sebanyak 220 anggota marinir AS dan 21 personel lainnya terbunuh dalam tragedi bom bunuh diri dengan truk di Beirut. Tidak lama sesudah itu, serangan bom bunuh diri yang kedua terjadi, menghancurkan bangunan di Beirut dan menewaskan 58 tentara Prancis yang ditempatkan di sana.
Presiden AS saat itu, Ronald Reagan, memerintahkan menarik seluruh tentara AS di Lebanon.
Laman trendresearch memuat, Beirut terus-menerus dikepung tragedi berdarah, sampai pada 2005, ketika tentara Suriah, yang menguasai bagian dari kota itu selama 29 tahun, akhirnya dipaksa keluar dari kota sebagai bagian dari perjanjian damai.
Kota ini terjebak dalam konflik geopolitik antara Iran yang mendukung Hezbollah di satu sisi, dan Israel, Arab Saudi dan AS di sisi lainnya. Bagian timur kota, sebagian dikuasai kelompok Kristen, sedangkan bagian barat dihuni kelompok Sunni, sementara kelompok Syiah menduduki bagian selatan kota.
Sejak 2005, kota Beirut dibangun kembali. Bangunan yang rusak direstorasi. Sejak itu sejumlah desainer fesyen, juru masak terkemuka dan pengusaha kembali ke Beirut, menata hidup dan bisnisnya.
Masalahnya, kekayaan yang mereka keruk, tidak berdampak kepada kehidupan rakyat. Kesenjangan melebar. Rakyat protes atas menurunnya kualitas hidup, kemiskinan dan pemerintahan yang korup.
Ekonomi Lebanon memburuk, apalagi kemudian datang pandemik COVID-19.
Saat Presiden Macron meninjau lokasi ledakan, di Pelabuhan Beirut, ratusan warga unjuk-rasa. Mereka menuntut pemimpin politik di Lebanon mundur. Sebagian pengunjuk rasa bahkan meminta Prancis kembali mengambilalih kekuasaan di negeri itu.
Di mata mereka, Lebanon pernah merasakan kondisi damai dan sejahtera di era protektorat Prancis sampai tahun 1943. Pula saat kekuasaan Prancis di Lebanon sampai awal 1970-an.
Ledakan dashyat 2.750 ton amonium nitrat itu membuat wajah Beirut luka parah. Begitu pula citra sebagai kota cantik di Timur Tengah.