Ilustrasi tahanan (IDN Times/Mardya Shakti)
Penutupan Guantanamo adalah salah satu kampanye utama dan perintah eksekutif Barrack Obama ketika menjabat Presiden AS. Obama berpendapat, selain penjara itu noda bagi AS, fasilitas itu juga menghabiskan banyak biaya. Pada tahun 2016, setiap tahun lebih dari 445 juta dolar AS atau setara Rp6,2 triliun dikeluarkan untuk membiayai Guantanamo.
Namun upaya Obama untuk menutup mendapatkan perlawanan yang tajam dari oposisi Republik. Ketika Obama bersumpah untuk berusaha mati-matian menutupnya, Senator John Cornyn dari Republik juga mengatakan “Sama seperti dengan Presiden Obama, Partai Republik akan berjuang mati-matian,” katanya seperti dikutip dari Associated Press.
Alhasil, sampai Obama meninggalkan jabatannya, ia gagal menutup Guantanamo. Kini giliran Biden dari Demokrat yang berusaha untuk menutup fasilitas kontroversial itu. Namun, melansir dari laman Al Jazeera, pemerintahan Biden belum menjadikan Guantanamo sebagai prioritas, tidak seperti Obama.
Apalagi saat ini AS sedang bergulat dengan persoalan ekonomi, pandemi, dan tantangan global lain, ambisi Demokrat untuk menutup penjara itu butuh perjuangan keras. Pada awal Februari, 111 organisasi HAM menandatangani surat yang dikirim ke Biden agar Guantanamo ditutup.
Menurut pernyataan para aktivis HAM tersebut, “Guantanamo memperkuat perpecahan rasial dan rasisme secara lebih luas, dan beresiko memfasilitasi pelanggaran hak lainnya.” Dalam surat tersebut juga disinggung berbagai pelanggaran HAM dilakukan terhadap sebagian besar komunitas Muslim yang tanpa proses hukum, ditahan begitu saja.