Surabaya, IDN Times - 13 Mei 2018 merupakan hari saat bom pertama meledak di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Waktu itu hari Minggu pagi yang biasa diisi dengan kegiatan misa oleh para jemaat Kristen dan Katolik. Seketika seluruh awak media nasional dalam posisi siaga melaporkan peristiwa langsung dari lokasi.
Tak lama setelah kejadian, saya tiba di Rumah Sakit Bhayangkara. Saya melihat seorang ibu sedang duduk lemas di lantai depan lobi Unit Gawat Darurat (UGD) yang tempatnya tak begitu jauh dari kamar mayat.
Khawatir dengan nasib adiknya yang beribadah di salah satu gereja yang jadi sasaran bom, ia setengah linglung ketika diminta menjawab pertanyaan seorang reporter TV swasta nasional. Tatapan matanya kosong. Sesekali ia mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap airmatanya.
Saya diam, tidak tahu harus bagaimana. Si reporter kembali diinstruksikan untuk memberi pertanyaan kepada ibu tersebut oleh rekannya di studio karena sedang siaran langsung. Lagi-lagi ia hanya berkata tidak tahu apakah adiknya selamat. Jawaban itu dirasa terlalu singkat untuk kebutuhan TV. Reporter itu melontarkan pertanyaan lagi.
Selama dua hari setelahnya, semakin banyak keluarga korban datang. Kali ini mereka berkumpul di kamar mayat sebab polisi mulai menginformasikan nama-nama yang tewas. Pemandangan yang sama muncul. Para wartawan mengerubungi keluarga yang berkabung untuk dimintai tanggapan, ditanya soal perasaan.
Dalam hati saya merasa tidak nyaman.