Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dengan kekasihnya Carrie Symonds sebelum pertandingan antara Inggris melawan Wales dalam Six Nations Championship di Twickenham Stadium, London, Inggris, pada 7 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Toby Melville
Sementara itu, tak ada bagian konstitusi Inggris yang menyebutkan secara gamblang siapa yang layak segera mengambil alih posisi kepemimpinan. Apalagi parlemen Inggris menekankan pada tanggung jawab kolektif, bukan ketegasan peran seperti dalam sistem politik federal dan republik.
Partai Konservatif yang memimpin Inggris harus menunjuk satu orang untuk mengisi posisi permanen, tapi harus dengan persetujuan dari Ratu Elizabeth. Proses ini dipastikan akan berlangsung cukup lama.
Yang membuat kondisi rumit adalah tak ada posisi Perdana Menteri sementara di Inggris. Dalam situasi mendesak, umumnya ada tiga menteri teratas yang bisa dipilih yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.
Sayangnya, urutannya tidak jelas sehingga diyakini akan ada kompetisi antar menteri dalam tubuh partai apabila Boris tak bisa lagi menjadi Perdana Menteri.
Dr Catherine Haddon, pakar ilmu pemerintahan di Institute for Government Inggris, mengatakan kepada The Telegraph bahwa ada pula kemungkinan bagi anggota kabinet untuk berbagi tanggung jawab, misalnya dalam bidang intelijen yang sangat sensitif.
"MI5 melapor kepada Menteri Dalam Negeri, MI6 dan GCHQ melapor kepada Menteri Luar Negeri, jadi masih masih jalur komunikasi," jelasnya. Ia merujuk kepada lembaga-lembaga intelijen Inggris. "Perdana Menteri tetap memegang otoritas utama, tapi itu tak berarti dia satu-satunya yang berurusan dengan mereka," tambah Haddon.