Pemilu presiden, yang gagal diselenggarakan pada desember 2021, membuat suasana tiap faksi politik menjadi terbelah untuk persaingan selanjutnya. Konflik juga makin membara, karena rezim dinilai memiliki layanan masyarakat yang buruk.
Setelah era Perdana menteri Abdul Hamid Al-Dbeibah dinilai gagal, parlemen langsung menunjuk Perdana Menteri interim Fathi Bashagha untuk melanjutkan kepemimpinan.
Namun, Dbeibah dan anggota parlemen lain menolak untuk menyerahkan kekuasan. Tindakan itu membuat High State Council (HSC) tidak setuju dengan penolakannya. Anggota parlemen dan HSC telah berdiskusi lebih lanjut di Genewa pekan ini, namun diskusi itu tidak membuahkan hasil.
Pada Jumat malam (1/7/2022), Dbeibah mengatakan bahwa semua pejabat politik Libya harus mundur dan menggelar pemilu. Namun, narasi tersebut dinilai bertolak belakang karena tidak sesuai dengan niat pemerintah untuk menggelar pilpres yang ditunggu masyarakat.
Ketua parlemen Libya, Aguila Saleh, mengutuk tindakan sabotase terhadap pengunjuk rasa di sekitar gedung parlemen di Tobruk. Dia mengatakan kerusuhan tersebut bisa dijerat dengan hukum yang berlaku.