Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (IDN Times/Umi Kalsum)
Sementara pada hari ketiga, Ismatu Ropi menuturkan, sebagai akademisi dan aktivis kebebasan beragama, ia telah menjalin hubungan erat dengan komunitas Ahmadiyah di Indonesia selama bertahun-tahun.
"Semakin dekat dan mendalam hubungan saya dengan teman-teman Ahmadiyah dan pemikiran mereka, semakin jelas bahwa kontribusi mereka kepada Indonesia seringkali diabaikan atau diremehkan," katanya.
Sayangnya, kata dia, dalam jalinan sejarah Indonesia, upaya komunitas Ahmadiyah seringkali diabaikan. Apa yang telah dilakukan komunitas Ahmadiyah seperti titik yang terlupakan dalam penulisan sejarah Indonesia.
"Merupakan fakta sejarah bahwa pada pertengahan tahun 1940-an, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (Khalifatul Masih Kedua) menyerukan kepada para Ahmadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, untuk mendukung gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, dan dukungan ini adalah salah satu faktor penting yang berkontribusi pada kemerdekaan negara ini," katanya.
Menurutnya, Ahmadiyah telah memainkan peran penting dalam membentuk lanskap budaya, pendidikan, dan sosial Indonesia. Sejak hari-hari awal pembangunan bangsa, muslim Ahmadiyah telah memimpin upaya untuk memajukan pendidikan, memerangi kemiskinan, dan mendorong harmoni di antara berbagai komunitas.
"Tindakan mereka telah melampaui retorika, memperkaya masyarakat Indonesia secara mendalam," ujarnya.
Sebagai seseorang yang sangat terlibat dalam aspek teoritis dan praktis kebebasan beragama dan toleransi, Ismatu menyampaikan, telah menyaksikan secara langsung peran penting yang dimainkan oleh komunitas Ahmadiyah dalam mempromosikan perdamaian dan toleransi.
"Namun, meskipun kontribusi mereka patut dipuji, sangat disayangkan bahwa komunitas Ahmadiyah di Indonesia terus menghadapi marginalisasi dan diskriminasi yang tidak adil," ujarnya.
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir kondisinya secara bertahap membaik di Indonesia, menurut dia, sangat jelas bahwa selama beberapa dekade, mereka telah dicap secara tidak adil dan dianiaya atas nama ortodoksi agama. Ini adalah kontradiksi yang nyata terhadap komitmen konstitusional Indonesia terhadap kebebasan beragama.