Mahamat Idriss Deby, pemimpin pemerintahan militer Chad. (Twitter.com/Jasusi)
Pada 8 Agustus, junta militer Chad berhasil menjalin kesepakatan dengan sekitar 40 kelompok pemberontak dan oposisi untuk menandatangani pakta perdamaian. Mereka akan melakukan pembicaraan mengenai pemilu pada hari Sabtu. Pembicaraan akan dihadiri 1.400 delegasi dari pemerintah militer, masyarakat sipil, partai oposisi, serikat pekerja, dan kelompok pemberontak.
Namun, Enrica Picco dari lembaga International Crisis Group (ICG) menyampaikan, pembicaraan pemilu memiliki tantangan besar, dimulai dengan waktu pembicaraan yang dirasa tidak cukup.
"Jadwal dialog, yang seharusnya berlangsung selama 21 hari, tidak kredibel," katanya.
Pemerintah militer yang mengambil alih kekuasaan pada tahun lalu menjajikan 18 bulan untuk menuju pemerintahan demokratis, tapi batas waktu itu akan segera tiba pada Oktober dan tidak ada tanda-tanda pemilu digelar dalam waktu dekat. Junta telah menyarankan perpanjangan selama 18 bulan lagi dalam transisi ke pemerintah sipil.
Pembicaraan itu juga menghadapi tantangan lainnya, yaitu dua kelompok pemberontak terbesar dan aliansi politik utama menolak untuk ikut dalam pembahasan. Mereka yang absen, termasuk FACT dan Wakit Tamma, koalisi besar partai oposisi dan kelompok masyarakat sipil. Mereka mengatakan pembicaraan tidak sesuai yang diinginkan.