Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (ANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Wisnu Widiantoro)
Dua hari setelah pidato Presiden Duterte, setidaknya tercatat ada sembilan orang yang dianggap aktivis hak-hak asasi manusia meninggal dunia. Polisi melakukan penggerebekan di empat provinsi selatan Filipina.
Seorang juru bicara polisi yang bernama Letnan Kolonel Chitadel Gaoiran, melansir dari laman Straits Times, membenarkan bahwa enam orang tewas di provinsi Rizal, dua di provinsi Batangas dan satu di provinsi Cavite.
Selain itu, polisi juga menangkap enam orang, dan masih mencari sembilan tersangka lainnya. Rangkaian penggerebekan itu dilakukan pada hari Minggu (7/3).
Kelompok pengawas hak asasi manusia, Karapatan, menyebut insiden itu sebagai "Minggu Berdarah." Melansir dari situs resminya, Sekretaris Jenderal Karapatan Cristina Palabay, menyebut penangkapan dan pembunuhan para pemimpin buruh, penyelenggara, aktivis, dan pekerja hak asasi manusia, dilandasi dengan surat perintah palsu.
Selain itu, Palabay juga menilai "rezim Duterte sekarang melepaskan kengerian yang tak terkendali dari fasisme terhadap perbedaan pendapat di wilayah Tagalog Selatan menggunakan taktik kotor," katanya.
Kelompok hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) menyuarakan keprihatinan tentang penggerebekan mematikan tersebut. Menurut HRW operasi penggerebekan tampaknya merupakan "rencana terkoordinasi" oleh pihak berwenang.
Phil Robertson, wakil direktur HRW Asia menjelaskan "insiden ini jelas merupakan bagian dari kampanye kontra pemberontakan pemerintah yang semakin brutal yang bertujuan untuk menghilangkan" pemberontakan komunis.
Para aktivis hak-hal sipil sering melancarkan kritikan terhadap kebijakan perang melawan narkoba yang dilakukan oleh Duterte. Sejak Duterte menjadi presiden pada 2016, setidaknya ada sekitar 300 aktivis dan 55 pengacara dan hakim yang dicap sebagai simpatisan komunis meninggal dunia.
Presiden Rodrigo Duterte adalah salah satu pemimpin dunia yang kontroversial. Ketika ia berperang melawan narkoba di negaranya, sebuah laporan menyebutkan setidaknya ada sekitar 8.000 orang meninggal dunia. Duterte menghadapi tuduhan "kejahatan kemanusiaan" di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional akibat perang narkoba yang ia dengungkan.