Pekan lalu, Amnesty International merilis laporan mengenai pembantaian di kota sakral Aksum, di wilayah Tigray utara. Di kota tersebut menurut laporan Amnesty, ada ratusan orang yang dibunuh dan mayatnya tergeletak di jalanan.
Amnesty melakukan wawancara terhadap 41 korban yang selamat dan dari sumber tersebut menyampaikan, orang-orang yang mencoba menguburkan mayat di jalanan, juga ikut ditembaki. Para saksi mengatakan pelaku adalah personel militer Eritrea.
Dari laporan Amnesty itulah kemudian Amerika Serikat merasa prihatin dan menyerukan penarikan personel militernya dari wilayah Tigray.
Namun penolakan dan bantahan muncul dari dua pihak tertuduh, yakni Ethiopia dan Eritrea. Melansir dari laman Al Jazeera, Duta Besar Ethiopia untuk Qatar, Samia Zekaria Gutu, mengirimkan surat kepada Al Jazeera yang menyebut bahwa laporan Amnesty tersebut "dimasak."
Dia mengatakan bahwa laporan Amnesty berdasarkan sumber yang tidak dapat dipercaya dan karena laporan tersebut, memiliki risiko memperkuat informasi yang salah dan propaganda dari kelompok "kriminal" TPLF.
Bantahan lain juga dilayangkan oleh pemerintah Eritrea. Yemane Meskel, Menteri Informasi Eritrea menyebut bahwa laporan Amnesty berisi "tuduhan tidak masuk akal."
Dalam penelusuran Al Jazeera, jurnalis dari media tersebut mendapatkan informasi dari korban dan saksi yang selamat dari pembantaian Mai Kadra, wilayah Tigray bagian barat. Pembantaian di Mai Kadra menyebabkan sekitar 600 orang tewas.
Saba, nama seorang gadis yang selamat dari Mai Kadra menyampaikan bahwa "beberapa gadis berhasil meninggalkan desa, tetapi di jalan kami ditangkap oleh tentara Eritrea. Lebih dari 10 tentara secara bergiliran merudapaksa kami."
Meski pasukan federal Ethiopia telah melumpuhkan ibukota wilayah Tigray, Mekelle, namun para prajurit TPLF masih belum menyerah hingga saat ini. Mereka berhasil melarikan diri dan bersembunyi serta berjanji akan melakukan perlawanan sampai titik akhir.