Francesca Giovannini, ilmuwan yang menulis untuk Bulletin of the Atomic Scientists membagikan sejumlah analisis. Menurutnya, Putin tidak akan melanggar tabu nuklir yang membuat Rusia menggunakan senjata pemusnah massal itu.
Ini didasarkan pada tiga asumsi, yaitu Rusia tidak ingin menghancurkan Ukraina karena niatnya ingin menduduki negara tersebut, Putin bukanlah orang yang cukup nekat dan 'gila' untuk mendobrak tabu nuklir, dan ada banyak pilihan bagi Rusia untuk menaklukkan Ukraina selain nuklir.
Dari tiga asumsi tersebut masing-masing bisa dipertanyakan. Pertama, kondisi saat ini di hari keempat serangan untuk menghindari penghancuran Ukraina berbeda dari kenyataan. Pasukan pertahanan Ukraina yang bersatu dengan sipil telah menciptakan benteng yang jelas merepotkan tentara Rusia. Moskow tidak ingin mengalami kerugian lebih lanjut dan ingin meraih kemenangan secara cepat.
Kedua, Putin sebenarnya telah lebih dari satu kali mendobrak tabu kedaulatan nasional. Jadi ada kemungkinan Putin akan serius menggunakan nuklir. Dalam krisis Ukraina, Putin telah berulangkali menyinggung nuklir dalam narasi yang ia keluarkan, termasuk menuduh 'Ukraina berada di jalur memperoleh senjata nuklir', sebuah klaim yang tak memiliki dasar.
Ketiga, Rusia punya banyak pilihan untuk menaklukkan Ukraina, negara yang secara militer jelas jauh lebih lemah. Rusia belum mengerahkan kemampuan serangan siber secara penuh, belum semua tank dikirim, senjata drone dan lainnya juga belum terlihat melakukan serangan masif di Ukraina.
Moskow masih memiliki kekuatan penghancur selain nuklir kalau hanya untuk menghancurkan kota-kota Ukraina. Selain itu, pilihan diplomasi dan negosiasi juga masih terlihat.
Tapi David Khalfa dari Jean Jaures Foundation yang berbasis di Paris mengatakan, perintah siaga pasukan nuklir Rusia itu karena Rusia frustrasi menghadapi perlawanan Ukraina.