Ilustrasi Artikel Indikasikan Rasisme, Majalah Prancis Dituntut

Paris, IDN Times - Jaksa Prancis membuka investigasi terhadap majalah Valeurs Actuelles setelah majalah tersebut menggunakan ilustrasi anggota parlemen berkulit hitam Danièle Obono yang lehernya dirantai. Dilansir dari The Guardian, ilustrasi ini menuai kontroversi di seluruh Prancis karena mengindikasikan perbudakan kulit hitam. Jaksa Remy Heitz mengatakan bahwa investigasi dilakukan atas dasar 'serangan yang bersifat rasis'.
Obono yang terlahir di Gabon merupakan Wakil Majelis Nasional di Partai France Unbowed. Saat ini, ia menjadi anggota parlemen dan merepresentasikan konstitusi Paris. Melalui Twitter pribadinya, Obono mendeskripsikan ilustrasi tersebut sebagai hal paling menjijikan, bodoh, dan kejam. "Ilustrasi ini merupakan hinaan bagi nenek moyang, keluarga, dan gerakan politik saya", jelasnya. Adanya kejadian ini membuat Obono semakin ingin memberantas rasisme untuk memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan persaudaraan.
1. Majalah Valeurs Actuelles membantah tuduhan rasisme
Valeurs Actuelles sendiri membantah tuduhan yang menyatakan bahwa ilustrasi tersebut mengandung unsur rasisme. Pihak majalah mengatakan bahwa ilustrasi tersebut digunakan untuk menggambarkan cerita fiksi 7 halaman bertema perbudakan pada abad ke-18. Dalam fiksi tersebut, Obono menjadi bagian dari seri fitur fiksi. "Cerita kami tidak mengandung unsur rasisme sama sekali. Lebih mudah bagi lawan kami untuk melemparkan tuduhan tersebut kepada kami", jelas Valeurs Actuelles.
Menurut majalah tersebut, ilustrasi tersebut memperkuat kekejaman yang melekat dari subjek itu sendiri. "Kami cukup berpandangan jernih untuk memahami bahwa orang yang paling terpengaruh, Danièle Obono, secara pribadi dapat merasa tersakiti oleh fiksi ini. Kami menyesali itu dan meminta maaf padanya", ungkap pihak majalah.
Pejabat Prancis turut memberikan tanggapan atas peristiwa ini. "Ilustrasi tersebut merupakan publikasi menjijikan dan layak mendapatkan kecaman", ucap PM Jean Castex. Dilansir dari French24, Castex menyatakan bahwa Obono mendapatkan dukungan pemerintah.
Emmanuel Macron selaku Presiden Prancis bingung akan hal ini, mengingat ia sempat memuji Valuers Actuelles sebagai majalah yang baik pada sebuah wawancara tahun lalu. Macron turut menyuarakan simpatinya dengan mengecam segala bentuk rasisme.
2. Presiden Emmanuel Macron larang rakyat bicarakan kekerasan yang dilakukan polisi
Hingga saat ini, pemerintah masih menutup diri terhadap pembicaraan mengenai rasisme maupun kebrutalan polisi. Artis dan penyanyi Prancis Camelia Jordana sempat mengangkat topik ini dalam sebuah acara di televisi France 2. "Laki-laki dan perempuan yang bekerja di pinggiran kota sering dibantai karena warna kulit mereka, ini adalah fakta", ucap Jordana. Bersama dengan ratusan orang lainnya, Jordana mengaku merasa tidak aman di hadapan polisi Prancis.
Setelah acara tersebut ditayangkan, kepolisian di seluruh Prancis meminta negara untuk mengambil tindakan legal terhadap Jordana dengan alasan pencemaran nama baik polisi. Menteri Dalam Negeri Christophe Castaner menanggapi pendapat Jordana dengan mengatakan bahwa di Prancis, tidak semua hal dapat diucapkan dengan bebas di publik. Menurut Castaner, apa yang dikatakan Jordana adalah sebuah kebohongan dan tidak adil bagi kepolisian. "Kami tidak akan membiarkan kehormatan negara dinodai dengan cara ini", ungkap Castaner.
Tanggapan Castaner mengenai kebebasan berbicara menuai kemarahan masyarakat. Ucapannya dianggap sebagai serangan terhadap kebebasan berbicara di Prancis yang telah diperjuangkan pada abad-abad sebelumnya. Ucapan Castaner bukanlah hal yang baru, mengingat pada Maret 2019 lalu, Macron sempat memberitahu masyarakat untuk tidak membicarakan penindasan atau kejahatan polisi. Menurut Macron, topik tersebut tidak dapat diterima dalam sebuah negara dengan supremasi hukum.
Berdasarkan laporan Al Jazeera, sudah tidak terhitung jumlah penelitian yang mengungkapkan bahwa kaum minor di Prancis menjadi perhatian polisi setempat dan menjadi target kekerasan polisi.
3. Charlie Hebdo cetak ulang kartun kontroversial yang menimbulkan penembakan tahun 2015
Charlie Hebdo merupakan majalah asal Prancis yang dikenal menerbitkan konten sensitif dan menyinggung tokoh politik maupun tokoh agama. Di tahun 2012 sendiri, Charlie Hebdo sempat menerbitkan ilustrasi dan karikatur telanjang Nabi Muhammad SAW beberapa hari setelah adanya serangan teroris terhadap kedutaan besar AS di Timur Tengah. Hal ini juga dilakukan sebagai bentuk tanggapan terhadap film 'Innocence of Muslims'. Akibat ulahnya ini, Prancis menutup sekolah, pusat kebudayaan, dan kantor diplomat lebih dari 20 negara, mengantisipasi akan adanya serangan balik.
Kantor pusat majalah ini kemudian diserang oleh teroris pada tahun 2015 lalu. Sebanyak 12 orang tewas akibat insiden ini. Penyerangan ini disebabkan oleh publikasi Charlie Hebdo mengenai Nabi Muhammad SAW yang dilarang untuk diilustrasikan dalam kepercayaan Muslim. Setelah selesai melakukan penembakan, teroris keluar dari gedung dan mengatakan "Kami telah membunuh Charlie Hebdo, kami telah melakukan balas dendam untuk Nabi Muhammad".
Sebanyak 14 orang yang diduga terkait dengan aksi penembakan dan penyediaan senjata akan menjalani persidangan di Paris pada Rabu (02/09) ini. Sehubungan dengan persidangan ini, Charlie Hebdo akan mempublikasikan ulang kartun Nabi Muhammad SAW di majalah di hari persidangan dan sudah dapat dilihat secara online Selasa (01/09) ini. "Kami selalu menolak untuk mempublikasikan ulang, hukum melarang kami untuk melakukannya. Saat ini, ada alasan yang baik untuk mempublikasikan kembali, dan alasan tersebut memiliki arti dan membawa ke suatu perdebatan", jelas tim editorial Charlie Hebdo.
Tindakan kontroversial Charlie Hebdo mematik kebebasan berbicara di Prancis. Walaupun begitu, beberapa orang menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo telah melewati batas.
4. Kasus kebrutalan polisi tahun 2016 kembali disorot masyarakat
Gerakan melawan rasisme terhadap kulit hitam di Prancis telah dilakukan sejak tahun 2016. Pada tahun tersebut, seorang pria kulit hitam berusia 24 tahun bernama Adama Traore meninggal akibat kekerasan yang dilakukan polisi. Saat itu, Adama terlibat perselisihan dengan 3 orang polisi terkait pemeriksaan identitas. Salah satu polisi yang terlibat memberikan kesaksian kepada penyelidik bahwa Adama ditindih oleh ketiganya setelah ditangkap. Adama kehilangan kesadaran di dalam kendaraan mereka dan meninggal di dekat stasiun polisi terdekat. Ketika paramedis datang, tangan Adama masih dalam keadaan di borgol.
Ahli medis Prancis membebaskan ketiga polisi tersebut dan mengabaikan laporan keluarga Adama yang mengatakan bahwa Adama meninggal akibat sesak napas. Hingga saat ini, ketiga polisi tersebut tidak mendapatkan hukuman apapun dan masih bekerja di tempat yang sama. Ketiganya bahkan dipuji karena berhasil menekan protes terkait kematian Adama.
Keluarga Adama terus memperjuangkan keadilan hingga detik ini. Pada 2 Juni lalu, organisasi Justice and Truth for Adama mengajak masyarakat untuk turun ke jalan dan memprotes kebrutalan polisi. Sebanyak 23.000 orang berkumpul dan melakukan unjuk rasa di Paris setelah ajakan ini disebar luaskan. "Hari ini kita tidak hanya memperjuangkan keadilan untuk Adama. Ini adalah perjuangan untuk semuanya. Ketika kita memperjuangkana George Floyd, kita juga memperjuangkan Adama Traore", sebut saudara Adama pada aksi unjuk rasa tersebut.