Ilustrasi keluarga. (Pixabay.com/TheVirtualDenise)
Beberapa bulan lalu, pemerintah China telah mengubah Undang-Undang Keluarga Berencana yang memperbolehkan setiap pasangan suami istri memiliki maksimal 3 anak.
Sebelumnya, Negeri Tirai Bambu menerapkan kebijakan yang begitu ketat soal kelahiran, sehingga sebagian besar dari mereka memilih untuk melakukan aborsi. Akibat dari regulasi tersebut, diperkirakan sebanyak 20 juta bayi perempuan hilang dari populasi antara periode 1980-2010.
Pada 2015 lalu, kebijakan tersebut mulai dilonggarkan untuk pertama kalinya, yang memungkinkan pasangan suami istri memiliki maksimal dua anak, karena pemerintah mulai khawatir kehabisan angkatan kerja dari generasi muda.
Data juga menunjukkan bahwa orang berusia 60 tahun ke atas (sekitar 264 juta warga) menyumbang 18,7 persen dari populasi negara pada 2020 lalu, hampir enam persen lebih banyak daripada 2010 lalu. Sementara, populasi usia kerja di negara itu turun menjadi 63,3 persen pada 2020 lalu, dari 70,1 persen di satu dekade lalu.
Amandemen terbaru mencakup sejumlah langkah yang bertujuan mendorong pasangan untuk memiliki lebih banyak anak.
Dalam pernyataannya, pemerintah Tiongkok akan meluncurkan langkah-langkah yang mendukung dalam hal keuangan, perpajakan, asuransi, pendidikan, perumahan, dan pekerjaan dengan tujuan meringankan beban keluarga dalam hal melahirkan anak, pengasuhan anak, serta pendidikan.