Presiden Rusia Vladimir S. Putin (Sputnik/Alexey Nikolsky/Kremlin/Reuters)
Menurut Radityo, ada beberapa alasan mengapa publik cenderung mendukung Rusia dalam kecamuk ini. Pertama adalah sikap anti-Amerika dan anti-Barat yang kuat di masyarakat. Anti-Amerikanisme ini disebut sebelumnya telah diamati dalam sikap Indonesia terhadap “perang melawan teror” AS, yang dengan sendirinya merupakan pendorong utama sentimen anti-Amerika.
“Ilmuwan politik Indonesia Saiful Mujani berpendapat pada 2005 bahwa sentimen anti-Amerika biasanya tidak diterjemahkan ke dalam tindakan politik seperti demonstrasi. Tetapi kebangkitan media sosial selama beberapa tahun terakhir, telah memungkinkan orang biasa untuk mengekspresikan pandangan yang sebelumnya tersembunyi ini secara lebih terbuka,” ungkapnya.
Faktor penting lainnya yang, menurut Radityo, memengaruhi tanggapan Indonesia terhadap konflik adalah preferensi publik untuk pemimpin yang “kuat”.
“Seperti yang ditunjukkan oleh popularitas Prabowo Subianto pada Pemilu 2014 dan 2019, publik Indonesia sangat responsif terhadap retorika tentang kepemimpinan nasionalis dan populis,” katanya.
Menurut Radityo, Presiden Rusia Vladimir Putin telah lama digambarkan sebagai pemimpin yang hipermaskulin, kuat, dan tegas. Pada 2018, misalnya, politikus Partai Gerindra, Fadli Zon, berpendapat Indonesia membutuhkan “pemimpin yang kuat, berani, visioner, cerdas, dan berwibawa seperti Putin”.
“Putin sudah populer di Indonesia sebelum serangan ke Ukraina, sehingga banyak orang Indonesia cenderung menerima narasinya tentang konflik tanpa banyak pertanyaan. Memang, di media Indonesia dan di kalangan publik, Putin telah digambarkan sebagai mantan pejabat intelijen yang cerdas dan berpengalaman, sementara Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah direduksi menjadi karikatur, mengingat kehidupan masa lalunya sebagai seorang komedian,” jelasnya.
Sementara faktor ketiga, menurut Radityo, mendukung pandangan pro-Rusia di kalangan masyarakat Indonesia adalah agama. Ini terjadi karena beberapa tahun terakhir telah ada upaya bersama untuk menggambarkan Rusia sebagai teman dan sekutu Islam.
“Pekan lalu, misalnya, saluran YouTube populer menggambarkan Rusia sebagai orang-orang 'Rum' yang dijelaskan dalam Al-Qur'an, orang-orang yang mengikuti agama Kristen tetapi menyelaraskan diri dengan Islam di akhir zaman. Narasi ini semakin umum di komunitas Islam di Indonesia, yang mengarah pada pertanyaan tentang potensi konflik Rusia-Ukraina untuk memulai Perang Dunia III, atau akhir zaman,” jelasnya.
“Sebuah video viral yang menunjukkan pejuang Azov neo-Nazi Ukraina melapisi peluru dengan lemak babi, tampaknya untuk digunakan melawan Muslim Chechen, hanya menambah kesan bahwa sisi 'alami' dari konflik bagi Muslim adalah dengan Rusia,” tambahnya.