Seorang perempuan Muslim berjilbab berjalan melewati polisi yang sedang melakukan pawai bendera di jalan di luar Masjid Jama, sebelum putusan Mahkamah Agung tentang sengketa tempat relijius yang diklaim oleh umat Hindu dan Muslim di Ayodhya, kota tua Delhi, India, pada 9 November 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Adnan Abidi
Menurut naskah draf yang dibawa ke majelis tinggi, nantinya para imigran yang tak terdokumentasi dan tinggal di India pada satu terakhir dan setidaknya total selama enam tahun berhak mendapatkan kewarganegaraan. Dalam UU sebelumnya, mereka harus tinggal minimal 12 tahun di negara tersebut sebelum bisa diberi status warga negara.
Menurut pakar hukum Faizan Mustafa, RUU itu "sangat regresif" dan merupakan pelanggaran konsitusi. "Kita tak mendasarkan kewarganegaraan pada agama," ucap Wakil Rektor di salah satu universitas di Hyderabad tersebut kepada Al Jazeera.
India sendiri merupakan negara sekuler dengan jumlah penduduk 1,3 miliar jiwa yang hampir 15 persen di antaranya adalah penganut agama Islam.
"Jika pemerintah India, melalui RUU ini, ingin memberi kewarganegaraan kepada minoritas yang dipersekusi di negara tetangga, bagaimana bisa tidak memasukkan Rohingya di Myanmar yang lebih dipersekusi dari kelompok mana pun di kawasan ini?" tambah Mustafa.
Protes pun mulai bermunculan dari kalangan Muslim. The India Times menyebut pemerintah sedang berusaha menetapkan Muslim sebagai warga kelas dua secara legal. Sekitar 100 akademisi dan ilmuwan dari berbagai institusi di India dan luar negeri pun mengeluarkan surat terbuka.
Isinya menyatakan penolakan dan menuntut pemerintah "memperlakukan semua pemeluk agama dengan setara". Mereka menekankan kembali bahwa India dibangun di atas sekularisme dan eksklusi kelompok Muslim mengancam pluralisme negara.
Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb