Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ferdinand Marcos Jr dalam kampanyenya sebagai calon presiden Filipina (Instagram.com/Bongbong Marcos)
Ferdinand Marcos Jr dalam kampanyenya sebagai calon presiden Filipina (Instagram.com/Bongbong Marcos)

Jakarta, IDN Times - Filipina dan Vietnam telah menandatangani perjanjian soal sengketa Laut China Selatan, kala Presiden Filipina Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr, menyambangi Hanoi, kemarin.

Selain dengan China, Filipina dengan Vietnam juga memiliki gesekan di perairan internasional tersebut. Begitu juga dengan Malaysia dan Brunei Darussalam.

Dilansir dari Straits Times, Rabu (31/1/2024), perjanjian ini adalah kesepakatan dua negara untuk sama-sama berupaya mencegah insiden yang tidak diinginkan di Laut China Selatan.

Selain itu, Manila dan Hanoi juga berupaya untuk meningkatkan kepercayaan satu sama lain, keyakinan, pemahaman melalui dialog serta kegiatan kerja sama.

1. Kerja sama penjaga pantai dua negara

Selain itu, perjanjian ini juga berisi tentang meningkatkan kerja sama penjaga pantai dua negara, termasuk menyiapkan mekanisme komunikasi hotline langsung di antara mereka.

“Sebagai negara maritim, kami mempunyai penilaian yang sama mengenai kondisi lingkungan regional saat ini dengan negara maritim lainnya di Asia Pasifik. Negara-negara kita ini punya peran penting untuk membentuk wacana keamanan regional dan menegakkan tatanan internasional berbasis aturan,” kata Bongbong.

2. Filipina dan China bersitegang di Laut China Selatan

Sementara itu, hubungan Filipina dan China merenggang akibat sengketa perairan internasional ini.

Dua negara memiliki klaim yang sama di Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Spratly yang dianggap sebagai daerah penangkapan ikan tradisional nelayan Filipina dan Vietnam.

3. China tolak hasil pengadilan arbitrase 2016

Sebelumnya, China sendiri telah menolak hasil dari pengadilan arbitrase pada 2016 lalu yang berdasarkan klaim Beijing terkait Nine Dashed Line atau sembilan garis putus-putus yang menunjukkan Laut China Selatan adalah milik mereka.

Pengadilan arbitrase kala itu memutuskan bahwa konsep sembilan garis putus-putus tersebut tidak memiliki dasar hukum di bawah aturan hukum maritim internasional.

Editorial Team