Dilansir BBC, aksi pembakaran Al-Qur'an juga ditanggapi oleh Kementerian Luar Negeri Irak yang meminta agar pria tersebut diekstradisi. Irak bependapat bahwa pria itu harus diadili di Baghdad karena dia masih memegang kewarganegaraan Irak.
Setelah kejadian itu, ribuan warga Irak atas seruan ulama Syiah, Moqtaha Al-Sadr, telah menggerebek kedutaan Swedia di Irak. Para pengunjuk rasa pergi setelah 15 menit pasukan keamanan dikerahkan.
Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson mengecam penggerebekan di kedutaan, tapi juga mengatakan sudah waktunya bagi Swedia untuk merefleksikan identitasnya.
“Tentu saja sangat tidak dapat diterima bagi orang-orang untuk secara tidak sah masuk ke kedutaan Swedia di negara lain. Saya pikir kita juga perlu bercermin di Swedia. Ini adalah situasi keamanan yang serius, tidak ada alasan untuk menghina orang lain,” katanya.
Maroko, Kuwait, Yordania, dan Uni Emirat Arab, juga telah merespons pembakaran tersebut dengan menarik duta besar mereka dari Stockholm.
Turki telah memprotes pembakaran itu melalui menteri luar negerinya, yang menyampaikan bahwa tindakan itu tidak dapat diterima untuk mengizinkan protes anti-Islam atas nama kebebasan berekspresi. Turki merupakan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang memiliki hak suara untuk menentukan apakah Swedia dapat mendapatkan keanggotaan.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada Minggu menyerukan anggotanya mengambil langkah-langkah terpadu dan kolektif untuk menghentikan pembakaran Al-Qur'an.
Hissein Brahim Taha, pemimpin OKI, mengatakan pembakaran Al-Qur'an bukan sekadar insiden Islamofobia biasa. Ia meminta negara-negara di seluruh dunia mematuhi hukum internasional yang melarang advokasi kebencian agama.