Warga menghadiri prosesi pemakaman bagi Mayor Jenderal Qassem Soleimani, kepala pasukan elite Quds, dan komandan milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis yang tewas dalam serangan udara di bandara Baghdad, di Ahvaz, Iran, pada Minggu, 5 Januari 2020. (ANTARA FOTO/Hossein Mersadi/Fars news agency/WANA [West Asia News Agency] via REUTERS)
Menurut Washington, Soleimani bersalah atas mengalirnya senjata-senjata peledak kuat yang mampu menembus kendaraan lapis baja, dan saat dipakai milisi anti-Amerika Serikat, membunuh ratusan serta melukai ribuan tentara Negeri Paman Sam.
Di saat bersamaan, CJR menilai, Amerika Serikat lupa soal invasi ke Irak yang juga menewaskan ratusan ribu jiwa dan membuat banyak orang menjadi pengungsi. Kekosongan kekuasaan setelah Saddam Hussein meninggal dunia, tak membuat Irak lebih stabil. Nyatanya, yang terjadi justru sebaliknya.
Namun, tak ada yang menuding Presiden George W Bush bertanggung jawab atas darah-darah yang berceceran itu, sehingga dia layak dihabisi dengan cara brutal. Ayahnya, George HW Bush, pun bisa melenggang bebas meski pada 1988 Amerika Serikat salah menembak pesawat sipil Iran, di mana 290 penumpang tewas. Ia bahkan menolak mengaku bersalah.
Di kalangan neo-konservatif Amerika Serikat, kekerasan terhadap Iran lebih dianjurkan. Salah satu yang dicontohkan CJR adalah mantan penasihat keamanan nasional Trump, John Bolton. Ia terang-terangan berharap ada "pergantian rezim", yang mana ini jelas merupakan dorongan intervensi dalam politik domestik Iran.
Petualangan militer Amerika Serikat di Timur Tengah berperan membuat Iran mengambil keputusan-keputusan ekstrem, dalam konteks kebijakan luar negeri. Mengira bahwa intervensi akan membawa perdamaian di kawasan tersebut, adalah sikap arogan.