Pada 25 April 2021, pemerintah Israel akhirnya 'melunak' dengan mulai mengizinkan warga Palestina berkumpul kembali di luar Damascus Gate. Tetapi, semua itu hanyalah berlangsung sementara.
Apa yang terjadi di sana, telah berkembang secara signifikan menjadi pusaran yang melebar luas tatkala mencuat kasus tentang penggusuran paksa enam keluarga Palestina dari rumah mereka di Sheikh Jarrah. Protes reguler diadakan sepanjang bulan Ramadan dan diwarnai dengan serangan dari kepolisian Israel, hingga mencuri perhatian internasional dengan tagar #SaveSheikhJarrah. Warga Palestina berada diambang ketakutan atas serangan bertubi-tubi yang dilancarkan aparat keamanan Israel dalam 'mengontrol' jalannya protes, dan menganggap segala rentetan penyerangan yang terjadi adalah cara Israel untuk melakukan pembersihan etnik.
Polisi Israel diwaktu bersamaan, mengatakan bahwa mereka hanya menanggapi kekerasan yang dilakukan oleh para demonstran di Sheikh Jarrah. Tetapi video dan gambar menunjukkan bahwa satu-satunya serangan kekerasan yang dibuat justru datang dari pihak mereka sendiri.
Beberapa waktu belakangan, hal itu dikonfirmasi oleh seorang jurnalis koresponden Sky news, Mark Stone, yang dalam liputannya di lokasi mengatakan bahwa tindakan polisi Israel untuk mengendalikan massa sebenarnya bisa diartikan sebagai "unnecessarily provocative behaviour" (perilaku provokatif yang tidak perlu) karena orang-orang Palestina yang berkumpul sebenarnya berada dalam kerumunan yang tenang dan tidak melakukan apapun yang dapat memprovokasi. Ia berkata: "Mereka (polisi Israel) menyebut tindakan itu untuk mengendalikan kontrol kerumunan, tetapi itu kerumunan yang tidak perlu dikontrol."
Tepat ketika situasi semakin mendidih, Presiden Mahmoud Abbas dari Otoritas Palestina membatalkan pemilihan legislatif negaranya pada 29 april. Keputusan tersebut membuatnya terlihat lemah, sedangkan Hamas yang melihat peluang mulai memposisikan diri sebagai pembela militan Yerussalem.
Pada 4 Mei, enam hari sebelum kebrutalan terjadi di Gaza, kepala militer Hamas, Muhammed Deif muncul untuk mengeluarkan pernyataan publik yang langka. "Ini peringatan terakhir kami," kata Deif kepada Israel. "Jika agresi terhadap orang-orang kami di lingkungan Sheikh Jarrah tidak segera berhenti, kami tidak akan berdiam diri."
Bagaimanapun juga, situasinya sudah terlalu genting untuk dapat diredakan. Menurut Avraham Burg, mantan ketua Parlemen Israel dan mantan ketua parlemen Organisasi Zionis Dunia, apa yang terjadi di Yerussalem adalah hasil dari bertahun-tahun blokade dan pembatasan di Gaza, beberapa dekade pendudukan di West Bank, dan beberapa dekade diskriminasi yang dialami orang Arab di negara Israel. “Semua uranium yang diperkaya sudah ada,” katanya. “Tapi anda membutuhkan pemicu. Dan pemicunya adalah Masjid Al Aqsa. ”