Kudeta yang terjadi pada Senin, 1 Februari 2021 dini hari merupakan puncak dari ketegangan antara fraksi militer dengan politisi sipil. Kubu angkatan bersenjata yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing mengklaim, pemilu pada November 2020 penuh kecurangan. Alhasil, Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) sukses mengamankan 315 dari 440 kursi di Majelis Rendah dan 161 dari 224 kursi di Majelis Tinggi.
Militer menuding komisi pemilu bersekongkol dengan NLD untuk meloloskan 8,6 juta daftar pemilih palsu. Komisi pemilu didesak membuka data pemilih secara transparan kepada publik. Namun gugatan itu ditolak. NLD juga meyakini mereka telah memenangkan pemilu dengan cara-cara demokratis. Tanpa kecurangan.
Di balik layar, Min Aung sebenarnya telah bernegosiasi dengan Suu Kyi untuk mengamankan kursi kepresidenan. Itu pun setelah periode kepemimpinannya sebagai Panglima Tatmadaw, sebutan untuk militer Myanmar, kembali diperpanjang. Tetapi perempuan peraih Nobel Perdamaian itu menolak permintaan Min Aung.
“Sebelum kudeta, si jenderal (Min Aung) sempat mengontak Suu Kyi dan Presiden (Win Myint), meminta dua hal. Pertama, meminta masa jabatannya diperpanjang sebagai ketua militer. Kedua, dia ingin jadi presiden,” kata Eva Sundari, mantan Ketua ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC), kepada IDN Times, Jumat, 19 Februari 2021.
Penolakan itulah yang mendasari aksi kudeta. Militer berdalih kudeta adalah sesuatu yang tak terhindarkan, demi melindungi negara dari krisis politik. Untuk menekan resistensi, militer menggaungkan narasi kecurangan pemilu. Beberapa hari kemudian, Suu Kyi ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan mengimpor alat komunikasi ilegal.
Kemudian, giliran Win Myint yang dijerat pasal pidana karena melanggar undang-undang darurat, sebab memicu kerumunan saat kampanye pemilu 2020 di tengah pandemik COVID-19. Pasal yang sama kemudian dialamatkan kepada Suu Kyi.
Sejarawan sekaligus intelektual terkemuka di Myanmar, Thant Myint U, meyakini perebutan kekuasaan bukan sesuatu yang direncanakan secara matang. Akibatnya, aparat tidak memiliki strategi yang matang untuk menekan gelombang demonstrasi.
Semula, fraksi militer mayakini Partai Solidaritas dan Pembangunan Serikat (USDP), partai yang berafiliasi dengan militer, setidaknya memperoleh 25 persen kursi parlemen. Ditambah dengan Konstitusi 2008 yang memberikan previlese 25 persen jatah parlemen kepada militer, maka Min Aung bisa mengendalikan setengah dari parlemen Burma.
“Sayangnya, pemilu tidak berjalan sesuai keinginan mereka. Makanya, saya ragu dengan narasi bahwa kudeta adalah sesuatu yang tak terhindarkan,” kata Myint U, dilansir dari laman Foreign Policy.
Sejarah panjang militer sebagai kepala negara bermula pada 1962, ketika Jenderal Ne Win melengserkan rezim Presiden Sao Shwe Thaik dan Perdana Menteri U Nu. Sejak saat itu, kepemimpinan negara diwariskan melalui kudeta jenderal atas jenderal lainnya. Peristiwa itulah yang mendasari julukan Myanmar sebagai “Negeri Para Jenderal.”
Suu Kyi, putri dari Jenderal Aung San yang merupakan pahlawan kemerdekaan Myanmar, hadir sebagai sosok yang mendobrak rezim militer. Setelah menamatkan studinya di Universitas Oxford dan Universitas London, Suu Kyi kembali ke tanah kelahirannya untuk memperjuangkan demokrasi pada Gerakan 8888 (8 Agustus 1988).
Perempuan kelahiran 19 Juni 1945 ini sudah empat kali ditetapkan sebagai tahanan rumah, yaitu pada 1990, 2000, 2003, dan 2021. Myint U menjelaskan, Suu Kyi adalah titik temu dari berbagai elemen sipil yang hari ini menentang kekuasaan militer.
“Apa yang membedakan protes sipil kali ini adalah jutaan orang berdemonstrasi karena mereka memilih Suu Kyi. Bukan diorganisir oleh Suu Kyi. Ada orang-orang tua yang trauma hidup di bawah rezim militer, benci terhadap militer, sebagian juga karena loyalitas terhadap NLD,” kata dia.