Jumlah Korban Sipil Akibat Ranjau Meningkat di Ukraina dan Myanmar

Jakarta, IDN Times - International Campaign to Ban Landmines (ICBL) melaporkan peningkatan penggunaan ranjau darat telah menyebabkan peningkatan korban sipil. Ini khususnya terjadi di daerah konflik seperti Ukraina dan Myanmar.
Rusia, yang bukan peratifikasi traktat larangan ranjau darat, telah menggunakan ranjau anti-personel secara luas di Ukraina sejak invasi dimulai. Sedangkan, Ukraina yang merupakan peratifikasi juga menggunakan ranjau di dalam dan sekitar kota Izium di Kharkiv.
Pada 2022, sekitar 4,710 orang terluka atau terbunuh oleh ranjau darat di 49 negara. Sebanyak 85 persen korban adalah warga sipil, setengahnya merupakan anak-anak. Jumlah korban tertinggi tahunan tercatat di Suriah dan Ukraina. Yaman dan Myanmar mencatat lebih dari 500 korban pada 2022.
1. Kasus ranjau Ukraina-Rusia
Perjanjian Pelarangan Ranjau diadopsi pada 18 September 1997. Saat ini, terdapat 164 negara yang menandatanganinya. Terakhir adalah Palestina dan Sri Lanka yang bergabung pada 2017.
Namun, seiring dengan meningkatnya konflik, penggunaan ranjau darat juga telah meningkat. Dilansir VOA News, Rusia dan Ukraina telah menggunakan ranjau anti-personel secara luas sejak awal agresinya.
Perang Ukraina-Rusia adalah kasus baru, di mana Rusia menggunakan ranjau secara luas di Ukraina, yang merupakan pihak dalam perjanjian tersebut. Kiev sendiri juga telah menggunakannya di Kharkiv.
"Hal ini telah menciptakan situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana sebuah negara yang bukan pihak perjanjian menggunakan senjata di wilayah (anggota perjanjian)," kata Mark Hiznay, direktur asosiasi senjata di Human Rights Watch.