Dilansir BBC, dalam beberapa bulan terakhir militer telah menghadapi serangkaian kekalahan memalukan dari milisi etnis dan pejuang anti-kudeta. Hal itu telah memicu kritik dan keraguan di kalangan pendukungnya.
Pada akhir tahun lalu, tiga tentara pemberontak etnis di negara bagian Shan, yang didukung kelompok bersenjata lain yang menentang pemerintah, menguasai penyeberangan perbatasan dan jalan yang membawa sebagian besar perdagangan darat dengan China.
Bulan lalu, Tentara Arakan mengatakan mereka telah menguasai kota Paletwa di negara bagian Chin dan pos militer terakhir di kota tersebut, pangkalan di puncak bukit di Meewa.
Presiden Myanmar yang dilantik militer, mantan jenderal Myint Swe, memperingatkan negaranya dalam bahaya perpecahan jika pemerintah tidak dapat mengendalikan pertempuran.
Kekacauan dan pertempuran yang timbul setelah kudeta telah menyebabkan lebih dari 1 juta orang mengungsi dan ribuan orang terbunuh.
Konflik yang terjadi membuat junta mengumumkan perpanjangan keadaan darurat untuk enam bulan berikutnya, sebelumnya keadaan darurat telah diberlakukan sejak 2021.