ilustrasi demonstrasi (Unsplash.com/ Chris Slupski)
Selain kekacauan karena kesalahan pemanggilan wajib militer, kekacauan lain yang terjadi adalah penolakan serius yang berujung protes dan ancaman kerusuhan.
Di wilayah Dagestan di Kaukasus Utara, protes tercepat dan terbesar terjadi karena menolak mobilisasi militer yang diumumkan Presiden Putin.
Melansir RFE/RL, pada 22 September, penduduk distrik Babayurt memblokir jalan raya federal, sementara kelompok lain di daerah yang sama menghadapi personel militer di kantor wajib militer setempat.
Kerusuhan bahkan terjadi di pemukiman Endirei di distrik Khasayurt, sebelum kemudian mencapai ibu kota Makhachkala.
Mereka yang melakukan protes di Dagestan didominasi oleh etnis Kumyks, etnis muslim berbahasa Turki yang jumlahnya sekitar 500 ribu orang.
"Banyak Kumyk yang pernah berperang. Dan beberapa telah terbunuh, dan ada banyak orang yang menolak untuk berperang. Beberapa dari mereka baru saja kembali dari perang dan sekarang mereka sedang dimobilisasi lagi," kata Denis Sokolov, spesialis studi etnis Kaukasus Utara dengan Free Russia Foundation.
"Mereka mengerti bahwa itu akan sangat sulit bagi mereka jika mereka dikirim kembali. Ibu, istri, dan saudara perempuan mereka tahu betul bagaimana itu bisa berakhir. Jadi konflik tidak bisa dihindari," tambahnya.