Presiden Korea Selatan Moon Jae-in berpidato pada peringatan tiga tahun pelantikannya sebagai Presiden di Istana Kepresidenan Blue House di Seoul, Korea Selatan, pada 10 Mei 2020. ANTARA FOTO/ Kim Min-Hee/Pool via REUTERS
Akibat meluasnya narasi negatif terhadap pasien COVID-19 yang baru terinfeksi setelah mereka beraktivitas, stigma di masyarakat juga mengkhawatirkan. Banyak warga yang tergolong sangat minoritas di Korea Selatan itu mengaku resah dengan keselamatan mereka.
Salah satu laki-laki gay mengatakan kepada The Guardian bahwa ia menyesal mengunjungi Itaweon.
"Saya mengakui itu adalah suatu kesalahan besar untuk mendatangi distrik gay saat situasi [virus] corona belum berakhir," kata dia.
"Akan tetapi, datang ke area itu merupakan satu-satunya waktu saat saya bisa jadi diri sendiri dan bertemu orang lain yang sama dengan saya. Selama seminggu ini, saya harus pura-pura menyukai perempuan," tambahnya.
Masyarakat Korea Selatan sendiri memang terbilang masih konservatif dan belum menerima keberadaan komunitas LGBT di tengah mereka. Apalagi sistem pelacakan kontak yang dipakai pemerintah untuk merespons wabah virus corona cukup memudahkan penduduk mengetahui pergerakan satu sama lain.
Persoalan ini mengundang perhatian Menteri Kesehatan Yoon Tae-ho. Ia mengingatkan tujuan dari sistem itu bukan untuk mempermalukan atau mendiskriminasi kelompok LGBT.
"Kami merilis pergerakan pasien-pasien yang terkonfirmasi [positif COVID-19] untuk mendorong siapa saja yang mungkin terpapar agar secara sukarela melakukan tes," kata Yoon, seperti dikutip oleh Yonhap.
"Kami mengimbau Anda sekalian menahan diri dari menyebarluaskan informasi-informasi personal milik para pasien atau rumor-rumor tak berdasar yang tidak hanya menyakiti mereka, tapi juga bisa membuat Anda mendapatkan hukuman," tegasnya lagi.