Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi China atau Tiongkok (pixabay.com/glaborde7)
ilustrasi China atau Tiongkok (pixabay.com/glaborde7)

Intinya sih...

  • China nilai resolusi AS tak jelas soal Gaza

  • Meski mengkritik resolusi, pemerintah China menekankan tetap mendukung DK PBB dalam upaya menegakkan gencatan senjata dan meredakan krisis kemanusiaan.

  • Resolusi yang disahkan Senin lalu (17/11/2025), merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas berdasarkan rencana 20 poin pemerintahan Donald Trump.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - China menyatakan keberatan terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB yang disusun Amerika Serikat terkait pembentukan Board of Peace (BoP) dan International Stabilization Force (ISF) di Jalur Gaza. Pemerintah China menilai naskah tersebut tidak secara jelas menegaskan prinsip utama.

Menurut China, Gaza harus diatur oleh rakyat Palestina dan proses menuju solusi dua negara. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, dalam konferensi pers reguler, sehari setelah resolusi disahkan dengan 13 suara setuju, membeberkan alasan pihaknya dan Rusia memilih abstain. Mao Ning menegaskan, absennya China mencerminkan perbedaan mendasar terhadap isi resolusi, bukan penolakan terhadap upaya perdamaian di Gaza.

Menurut Mao, rancangan AS terkait tata kelola Gaza pascaperang masih ambigu. Padahal, itu merupakan isu yang selama ini dianggap China sebagai kunci menuju penyelesaian konflik yang adil dan berkelanjutan. Dia menekankan, prinsip "Palestina memerintah Palestina" tidak terwakili secara memadai di dalam resolusi tersebut.

China juga menyampaikan komitmennya untuk terus mendukung penghentian kekerasan, percepatan bantuan kemanusiaan, serta jalan diplomatik menuju rekonstruksi Gaza, termasuk pemulihan penuh hak-hak rakyat Palestina.

1. China nilai resolusi AS tak jelas soal Gaza

Dalam pernyataannya, Mao menegaskan China tidak menolak inisiatif perdamaian, namun keberatan atas isi resolusi yang dianggap tidak menjawab elemen paling penting, yakni siapa yang akan mengelola Gaza setelah perang.

"Ada ambiguitas dalam isu kunci pengaturan pascaperang Gaza dalam resolusi AS, dan prinsip penting Palestina harus memerintah Palestina serta solusi dua negara belum sepenuhnya ditunjukkan. Inilah alasannya China tidak memilih mendukungnya," ujar Mao.

Posisi itu diperkuat oleh pernyataan Duta Besar China untuk PBB, Fu Cong, yang menyebut rancangan tersebut memiliki banyak isu krusial, termasuk lingkup tugas dan struktur ISF yang akan bertugas hingga 2027. China menegaskan, kejelasan mandat adalah hal krusial, mengingat ISF akan memiliki kewenangan keamanan utama di wilayah konflik yang sangat sensitif.

2. China tetap dukung DK PBB

Meski mengkritik resolusi, pemerintah China menekankan tetap mendukung DK PBB dalam upaya menegakkan gencatan senjata dan meredakan krisis kemanusiaan. Mao mengatakan pihaknya akan terus mengambil langkah konstruktif dan bertanggung jawab.

Dukungan China, dijelaskan Mao, berakar pada pembelaan atas hak-hak rakyat Palestina, termasuk perjuangan untuk menentukan nasib sendiri dan negara yang merdeka.

"China akan terus bekerja tanpa lelah untuk solusi yang adil dan berkelanjutan," kata Mao, dilansir Anadolu, Rabu (19/11/2025).

Pemerintah China juga menyuarakan rekonstruksi Gaza harus disertai mekanisme politik yang sah, inklusif, dan sejalan dengan kesepakatan internasional, bukan melalui struktur yang dianggap meminggirkan otoritas Palestina.

3. Resolusi AS dan gencatan senjata Gaza

Resolusi yang disahkan Senin lalu (17/11/2025), merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas berdasarkan rencana 20 poin pemerintahan Donald Trump. Tahap pertama mencakup pembebasan sandera Israel dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina.

Naskah resolusi mengatur pembentukan Board of Peace untuk mengawasi tata kelola serta ISF untuk menangani keamanan, demilitarisasi, dan stabilisasi Gaza hingga akhir 2027.

Salah satu poin yang paling disorot adalah rencana pembentukan mekanisme pemerintahan Gaza tanpa Hamas, serta proses rekonstruksi di bawah supervisi internasional.

Konteks itu muncul di tengah situasi kemanusiaan paling buruk sejak 2023, ketika lebih dari 69 ribu warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, tewas, dan lebih dari 170.700 terluka dalam perang yang menghancurkan hampir seluruh infrastruktur Gaza.

Editorial Team