Enam politisi perempuan Amerika Serikat dari Partai Demokrat. instagram.com/AOC
Berdasarkan temuan Inter-Parliamentary Union, media sosial jadi tempat nomor 1 di mana kekerasan psikologis (antara lain komentar seksis, ancaman dan intimidasi) berkembang. Salah satu target utama adalah perempuan-perempuan yang duduk di parlemen di berbagai negara.
Studi organisasi non-profit yang mempromosikan demokrasi itu sama dengan pengakuan dua politisi perempuan Inggris kepada BBC pada Mei lalu.
"Saya disebut sebagai pelacur, bahwa saya seorang sundal, bahwa saya seharusnya menghilangkan payudara saya, bahwa saya tidak pintar, bahwa saya idiot, bahwa saya semestinya enyah dan membuat kue saja--yang merupakan favorit saya secara pribadi," ujar politisi dari Partai Buruh yang menolak menyebutkan identitas diri.
"Menurut mereka, saya tidak berpendidikan, saya tak punya tempat di politik, dan Anda mendapatkan komentar itu setiap hari, itu terjadi berkali-kali," tambahnya.
Sedangkan anggota Partai Liberal Demokrat mengaku netizen membahas soal kehidupan personalnya di media sosial.
"Saya menerima pesan seperti ancaman kematian, perundungan, atau komentar-komentar jahat soal penampilan atau kepribadian saya, atau pandangan politik saya," jelasnya. "Kehidupan seksual saya juga dibawa-bawa. Jadi orang-orang berkata saya seorang pelacur, saya seorang sundal, ya seperti itu," tambahnya.