Tentara AS yang ditugaskan di Brigade ke-3, Divisi Gunung ke-10 mengawal warga yang dievakuasi menuju terminal check-in di Bandara Internasional Hamid Karzai, di Kabul, Afghanistan, Jumat (20/8/2021) (ANTARA FOTO/Lance Cpl. Nicholas Guevara/U.S. Marine Corps/Handout via REUTERS)
Memang sebuah ironi ketika melihat anggaran AS untuk Afghanistan, yang besarannya hampir 32 kali lipat total pembiayaan Indonesia pada 2020, berujung kemenangan Taliban. Upaya membangun “perdaban” di bawah label demokrasi seolah runtuh seketika.
AS dan koalisinya harus lebih malu ketika mendengar pengakuan Taliban, bahwa penaklukkan Kabul adalah kejadian yang tidak direncanakan. Bahkan, kejatuhan ibu kota jauh lebih cepat dari prediksi intelijen, yaitu 90 hari sejak laporan itu diungkap oleh pejabat Washington pada 11 Agustus 2021.
“Kami ingin mencapai solusi politik sebelum memasuki Kabul, membuat pemerintahan bersama yang inklusif. (Tapi) ketika kami memasuki Kabul, aparat keamanan pergi meninggalkan tempat mereka. Kami terpaksa meminta pasukan untuk masuk dan mengambil alih keamanan. Perkembangannya begitu cepat sehingga semua orang terkejut,” kata Komisi Kebudayaan Taliban, Abdul Qahar Balkhi, dilansir Al Jazeera.
Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan kejatuhan Kabul. Guru besar ekonomi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Daron Acemoglu, menyoroti kesalahan pendekatan AS dalam upaya pembangunan Afghanistan.
Washington meyakini, kata Daron, stabilitas dan perdamaian bisa terwujud apabila pemerintahan memiliki institusi negara yang kuat. Syarat utama untuk membangun lembaga negara yang kredibel adalah keamanan. Atas dasar itulah AS dan koalisinya mengirim tentara, agar suasana kondusif demi pembangunan.
Sayangnya, pendekatan berorientasi top-down atau sentralistik itu gagal diterapkan karena dua hal. Pertama, karakter sosiologis Afghanistan yang heterogen dan tribalistik. Menurut Daron, AS seharusnya memulai pembangunan dengan menyerap aspirasi sekitar 29 juta populasi Afghanistan yang terdiri dari sekitar 14 suku.
“AS gagal untuk menjadi fasilitator yang mempertemukan kepentingan berbagai pihak, tidak bisa merangkul kelompok-kelompok lokal,” tulis Daron, dikutip dari Project Syndicate.
Faktor kedua adalah AS tidak menjadikan sejarah berdarah Afghanistan sebagai refleksi pengambilan kebijakan. Menurut Daron, hanya ada dua pilihan ketika pemerintah pusat kehilangan legitimasi karena tidak menyerap aspirasi daerah, dilengserkan secara konstitusional atau tidak konstitusional.
“Sayangnya, Afghanistan adalah negara dengan sejarah panjang pertumpahan darah. Sehingga pilihan yang memungkinkan bagi mereka adalah perlawanan bersenjata. Mereka juga melihat kehadiran AS sebagai penjajahan dan upaya untuk melemahkan negara,” ulas Daron.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah korupsi dan kebiasaan hidup mewah para pejabat. Transparency International menempatkan Afghanistan pada peringkat 165, urutan 14 terbawah sebagai negara dengan korupsi tertinggi. Poinnya sangat kecil yaitu 19 per 100.
Menurut Edward Burke, peneliti hubungan internasional di Universitas Nottingham, perilaku korupsi mempengaruhi semangat juang para militer Afghanistan. Uang yang seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan aparat, justru diambil para komandan untuk memperkaya diri.
Alhasil, banyak pasukan di lapangan yang pembayaran gajinya menunggak, tidak menerima logistik dalam waktu yang lama, hingga manajemen rotasi yang buruk. Biden juga mencatat ada lebih dari 66 ribu tentara dan polisi Afghanistan yang enggan memerangi Taliban. Tidak aneh jika banyak pasukan yang mundur dari pos penjagaan dan menyerah kepada Taliban tanpa perlawanan.
“Sebagian dari mereka berperang karena tidak ada lagi pekerjaan yang memberi jaminan. Sekalipun masih ada yang mau berperang, itu karena mereka yakin memperoleh bantuan dari NATO,” kata Burke dikutip dari Irish Times, seraya menegaskan bahwa semangat juang para pasukan meredup ketika AS menarik pasukannya.
Juru bicara kedutaan Rusia di Kabul bahkan melaporkan, Ghani tidak meninggalkan Afghanistan dengan tangan kosong. Ghani dikawal empat mobil dengan penuh uang.
“Mereka memaksakan supaya semua uangnya masuk ke dalam helikopter, tapi tidak cukup. Akhirnya sebagian uang ditinggalkan begitu saja di aspal,” demikian laporan kedutaan, dilansir dari The Diplomat.
Banyak negara salah memperhitungkan kekuatan Afghanistan disebabkan oleh “pasukan hantu”, yaitu militer yang secara administrasi tercatat negara tetapi wujudnya nihil. Hal itu merupakan bentuk korupsi para komandan supaya mereka bisa mengambil gaji lebih.
Taliban kerap membagikan cuplikan video atau foto ketika berhasil menaklukkan pos-pos penting pemerintahan. Selain menunjukkan kejayaan, hal itu merupakan strategi Taliban untuk menunjukkan betapa korupnya para pejabat.
Lantas, yang menjadi pertanyaan, kenapa AS tetap membantu Afghanistan? Apakah mereka tidak tahu bahwa pemerintahannya sangat korup?
Artikel bertajuk why America keeps building corrupt client states yang dirilis The Economist menjelaskan bahwa penilaian bantuan internasional masih beriorientasi pada jumlah sumbangannya, bukan efektivitas atau nilai kegunaannya. Di sisi lain, artikel itu juga mengkritik karena AS terkesan tidak sungguh-sungguh dalam memberangus korupsi di Afghanistan.
“Militer yang selalu dirotasi dalam jangka waktu pendek sangat tidak mungkin untuk menghentikan korupsi,” kata Mark Pyman, aktivis anti-korupsi di Transparency International.