ilustrasi meninggal (pixabay.com/Soumen82hazra)
Selama 23-25 Juli 2014 di tengah pemboman Shujaiya, tentara Israel menyerang kota Khuzaa, timur Khan Younis di jalur Gaza selatan, dekat perbatasan dengan Israel. Beberapa penduduk kota berhasil melarikan diri, tetapi yang lain seperti keluarga Kodeih terjebak dan bersembunyi.
Wissam Kodeih, seorang pensiunan polisi berusia 44 tahun, dan ketiga saudaranya berlindung di rumah tetangga mereka bersama 13 pria lainnya.
Di rumah seberangnya, ibunya yang berusia 59 tahun, Rasmia, dan ayahnya yang berusia 67 tahun, Salem, bersembunyi bersama hampir 50 wanita dan anak-anak lainnya.
Saat itu bulan Ramadhan, dan pada 24 Juli ketika Kodeih sedang makan sahur sebelum fajar, saudara laki-lakinya, Ahmed, yang berusia 18 tahun membawakan makanan untuk ibunya di rumah seberang.
Tiba-tiba, bom menghantam area itu, di mana dua rumah tempat keluarga Kodeih mengungsi.
Kodeih mengatakan, tentara Israel mengepung rumahnya dengan buldoser tak lama setelah pengeboman. Matanya kemudia ditutup dengan tangan diikat dan dipisahkan dari saudara-saudaranya dan orang lain di rumah.
“Saya mengatakan kepada tentara bahwa saya ingin melihat ibu dan ayah saya atau saya tidak akan bergerak. Mereka menolak, salah satu dari mereka memukul saya dengan gagang senjatanya dan secara paksa menyeret saya ke sebuah rumah terdekat, di mana hampir 200 tentara Israel berkumpul," ungkap Kodeih.
Para tentara memaksa Kodeih, dengan kondisi berdarah di kepala dan bahu, duduk di dekat pintu depan rumah selama sehari, di belakang anjing militer mereka.
"Salah satu anjing berusaha mendekati saya. Jadi saya menatap matanya untuk menakut-nakutinya. Tapi seorang tentara melihat saya sekilas dan memukul kepala saya dengan sepatu bot militernya," katanya.
Ketika malam tiba, tentara menangkap dia dan tetangganya dan membawa mereka ke daerah dekat persimpangan Beit Hanoun antara Israel dan Gaza.
"Ada ratusan orang, beberapa di antaranya terluka. Kami duduk di rerumputan, mata kami ditutup, dan tangan kami diikat," jelasnya.
"Kami dipaksa untuk menundukkan kepala sampai ke lutut. Siapa pun yang mencoba membuka penutup matanya akan dipukuli. Meskipun saya berdarah, mereka bahkan tidak menawarkan saya tisu, apalagi perban."
Kodeih berhasil melihat sekilas saudara-saudaranya saat pergi ke toilet. Yang terjadi selanjutnya adalah imterogasi yang berlangsung selama empat hari, di mana dia ditanyai tentang keluarganya, terowongan Hamas, dan situs peluncuran rudal.
"Kami berada di bulan Ramadhan. Para tentara akan memberi kami roti dan secangkir air untuk berbuka puasa. Ketika kami pergi ke toilet, mereka bahkan tidak memberi kami tisu toilet," kata Kodeih.
Selama ini, Kodeih mengkhawatirkan keluarganya, terutama istrinya, yang tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati atau berapa lama penangkapannya akan berlangsung.
"Pada 29 Juli, mereka mengizinkan puluhan dari kami pergi dan memberi tahu kami jalan mana yang harus kami ambil," kata Kodeih.
Setelah satu jam berjalan, kelompok itu bertemu dengan Palang Merah, dan sebuah ambulans membawa Kodeih dan dua saudara laki-lakinya ke rumah sakit al-Quds di Gaza untuk mendapatkan perawatan luka-luka mereka.
Saat di rumah sakit, Kodeih bertemu dengan seorang kerabat dan diberitahu bahwa ayahnya telah tewas dalam serangan itu. Dia menolak untuk percaya bahwa itu benar, sampai dia pulang dan melihat ibunya.
Roket dari drone telah dijatuhkan di rumah tempat ibu, ayah, saudara perempuannya yang cacat, serta 50 wanita dan anak-anak bersembunyi. Salah satu roket menghantam ayahnya secara langsung.
"Wajah suami saya terbakar habis, dan kemudian dia pingsan. Pecahan peluru menghantam kepala saya dan putri saya yang cacat, menewaskan tiga orang dan melukai lima wanita dan anak-anak," kata Rasmia, ibu Kodeih.
Dia sendiri terbangun di rumah sakit empat hari kemudian, dan tidak dapat menemukan suaminya. Setelah berbicara dengan salah satu tetangganya, dia mengetahui bahwa Salem, dan mungkin putrinya juga, mungkin telah dipindahkan ke kereta kuda di depan Masjid Al-Tawhid sekitar 800 meter dari rumah mereka.
Yang tidak diketahui Rasmia saat itu adalah masjid itu kemudian dibom. Yang terluka di kereta, termasuk Salem, terkubur di bawah reruntuhan dan berada di sana selama hampir seminggu.
Pada 1 Agustus, Rasmia dan putra-putranya kembali ke rumah mereka untuk mencari Salem dan Ahmed yang berusia 18 tahun. Mereka diarahkan oleh penduduk setempat ke masjid dan mulai mencari di bawah reruntuhan.
“Tidak lama kemudian, kami menemukan sisa-sisa kereta. Setelah menggali dengan tangan kami selama 30 menit, kami menemukan mayat ayah dan kerabat saya yang berusia 80 tahun, yang sudah membusuk,” kata Kodeih.
Tanpa ada tanda-tanda Ahmed, Kodeih pulang ke rumah untuk melanjutkan pencarian adiknya. Bau busuk mayat dan bubuk mesiu menyelimuti lingkungannya, di mana hampir semua rumah hancur.
"Ketika saya sampai di rumah kami, saya menemukan tubuh yang membusuk, lalu saya mengenali celana pendek Ahmed. Itu adalah pemandangan paling mengejutkan yang pernah saya saksikan," kata mantan perwira polisi itu.
Sekitar 90 orang tewas dalam serangan di Khuzaa, dan 1.450 rumah hancur total atau rusak. Selama hampir dua tahun setelah serangan Israel, Kodeih mengalami mimpi buruk hampir setiap hari.
"Bahkan sekarang setelah delapan tahun, setiap momen pembantaian masih terukir dalam ingatan saya seolah-olah baru terjadi kemarin. Saya tidak bisa melupakan adegan mayat ayah dan Ahmed yang membusuk. Saya tidak bisa melupakannya," pungkasnya.