Ilustrasi arsip penting Prancis yang diteliti oleh komisi sejarah yang dibentuk oleh Presiden Emmanuel Macron. Sumber:unsplash.com/ Maksym Kaharlytskyi
Melansir dari France 24, komisi yang beranggotakan 15 orang itu tidak memiliki spesialis apa pun tentang Rwanda, yang menurut Macron hal itu diperlukan untuk memastikan netralitas sepenuhnya.
Tetapi para sejarawan termasuk para ahli tentang kejahatan Holocaust, pembantaian orang-orang Armenia selama Perang Dunia I, dan ahli hukum pidana internasional diberi akses ke arsip termasuk arsip Mitterrand sendiri, yang sudah lama tertutup bagi para peneliti.
Tindakan Macron telah memposisikan Prancis sebagai pemain yang tegas di panggung dunia. Macron berani mengambil keputusan untuk menyelidiki arsip-arsip yang dianggap tabu dalam catatan sejarah negara, meskipun banyak yang ingin melihat langkah yang jauh lebih berani.
Sejarawan Benjamin Stora, yang ditugaskan untuk memeriksa tindakan Prancis selama perang kemerdekaan Aljazair, menyerukan "komisi kebenaran" dan tindakan perdamaian lainnya dalam sebuah laporan besar yang disampaikan pada bulan Januari, namun Macron telah mengesampingkan permintaan maaf resmi atas penyiksaan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan Prancis di Aljazair.
Melansir dari BBC, sebelumnya arsip mengenai Rwanda tidak boleh diteliti. Pada 2015, Presiden saat itu Francois Hollande mengumumkan bahwa arsip Rwanda akan dibuka, namun dua tahun kemudian, ketika seorang peneliti meminta izin untuk mempelajarinya, Dewan Konstitusi Prancis memutuskan bahwa arsip tersebut harus tetap dirahasiakan.