Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_9051.jpeg
Protes Gen Z di Nepal semakin meluas. (X.com/@TheKathmanduPost)

Intinya sih...

  • Larangan media sosial memicu protes

  • Generasi Z dan mahasiswa terlibat dalam aksi demonstrasi

  • Kemarahan publik terkait ketidakadilan sosial dan korupsi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Perdana Menteri Nepal, KP Sharma Oli, resmi mengumumkan pengunduran dirinya pada Selasa (9/9/2025). Keputusan itu datang setelah tekanan besar dari publik, khususnya generasi muda, yang menggelar aksi protes masif terhadap korupsi dan represi pemerintah.

Gelombang demonstrasi yang berpusat di ibu kota Kathmandu bermula pada Senin (8/9/2025), dipicu larangan pemerintah terhadap 26 platform media sosial populer, seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, YouTube, hingga X (Twitter). Walau blokir tersebut sudah dicabut pada malam harinya, aksi protes terlanjur meluas dan berkembang menjadi gerakan anti-korupsi terbesar di Nepal dalam beberapa dekade terakhir.

Bentrok dengan aparat keamanan menelan korban jiwa. Setidaknya 22 orang tewas dan hampir 200 lainnya luka-luka, sebagian akibat luka tembak. Rumah-rumah pejabat politik, markas partai, hingga gedung parlemen Nepal dibakar massa. Situasi ini mendorong Oli untuk mundur, dengan alasan membuka jalan bagi ‘solusi konstitusional atas krisis nasional’.

Lantas, apakah demo dan kerusuhan di Nepal makin tak terkendali? Ini yang harus kamu ketahui:

1. Pemicu awal: Larangan media sosial

Protes para anak muda di Nepal. (commons.wikimedia.org/हिमाल सुवेदी)

Pemerintah Nepal memutuskan untuk memblokir 26 platform media sosial pekan lalu, dengan alasan perusahaan-perusahaan tersebut gagal mendaftar sesuai regulasi baru. Regulasi itu mengharuskan adanya perwakilan resmi di Nepal, pejabat kepatuhan, serta sistem penanganan keluhan pengguna.

Namun, langkah itu dipandang publik sebagai upaya membungkam suara kritis, terutama dari kalangan muda yang aktif mengkritisi praktik korupsi elite politik.

“Protes ini bukan hanya tentang media sosial. Ini tentang suara kami yang ingin dibungkam. Kami tidak akan diam,” kata Subhana Budhathoki, seorang content creator yang aktif menyuarakan kritik lewat platform digital kepada BBC.

Bagi mahasiswa, larangan tersebut juga berdampak langsung pada pendidikan mereka, karena sebagian besar kuliah dan materi belajar dilakukan secara daring.

2. Aksi meluas hingga bentrok berdarah

Protes Gen Z di Nepal semakin meluas. (X.com/@TheKathmanduPost)

Gelombang massa yang menamakan diri Generasi Z tumpah ke jalan pada Senin (8/9/2025). Dengan membawa buku, seragam, hingga poster bertuliskan “Youths Against Corruption”, ribuan mahasiswa dan pelajar memenuhi jalan-jalan Kathmandu, Pokhara, hingga Itahari.

Situasi memburuk ketika massa merangsek masuk ke kompleks parlemen di Kathmandu. Aparat merespons dengan gas air mata, meriam air, pentungan, hingga peluru karet dan peluru tajam. Amnesty International menyebut penggunaan peluru tajam oleh aparat berkontribusi pada jatuhnya korban jiwa.

“Penegak hukum hanya boleh menggunakan kekerasan bila benar-benar diperlukan, dan itu pun harus proporsional dengan tujuan sah yang ingin dicapai,” tulis Amnesty dalam pernyataan resminya.

Rumah sakit di Kathmandu melaporkan puluhan korban dengan luka tembak, sementara ratusan lainnya mengalami cedera akibat gas air mata dan peluru karet. Polisi juga mengonfirmasi sejumlah aparat turut terluka dalam bentrokan.

3. #NepoKids, simbol kemarahan publik

Protes Gen Z di Nepal semakin meluas. (X.com/@TheKathmanduPost)

Selain soal media sosial, demonstrasi ini juga didorong oleh isu ketidakadilan sosial. Tagar #NepoKids dan #NepoBaby menjadi simbol kemarahan publik setelah viralnya video gaya hidup mewah anak-anak pejabat.

Video itu memperlihatkan mobil-mobil mewah, liburan ke luar negeri, hingga pakaian desainer mahal yang kontras dengan realitas banyak pemuda Nepal yang menghadapi pengangguran, gaji rendah, dan terpaksa merantau ke luar negeri.

“Pemimpin hanya janji saat kampanye, tapi tak pernah menepati. Mereka hidup mewah dengan uang rakyat, sementara kami kesulitan mencari kerja,” kata Binu KC, mahasiswa berusia 19 tahun, kepada BBC Nepali.

Isu ‘anak pejabat hidup mewah, rakyat sengsara’ pun melecut semangat demonstrasi, membuat gerakan ini tidak hanya soal media sosial, tapi juga soal keadilan dan kesetaraan.

4. Masa depan Nepal abu-abu

Protes Gen Z di Nepal semakin meluas. (X.com/@TheKathmanduPost)

Meski Oli telah mundur, masa depan Nepal masih tidak jelas. Hingga kini belum ada sosok pengganti yang diumumkan. Sejumlah menteri dilaporkan berlindung di bawah pengawalan militer, sementara partai-partai besar belum menentukan sikap resmi.

Kepala Staf Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, mengeluarkan pernyataan bahwa militer siap mengambil alih kendali bila situasi semakin memburuk. Namun, ia juga membuka ruang dialog dengan para demonstran.

“Semua institusi keamanan, termasuk Tentara Nepal, berkomitmen mengendalikan situasi. Namun kami juga mengajak masyarakat, khususnya pemuda, berdialog untuk mencari jalan keluar,” kata Sigdel.

Meski begitu, masih belum jelas siapa yang dapat mewakili para demonstran. Gerakan ini tidak dipimpin oleh partai atau tokoh tertentu, melainkan murni gerakan akar rumput yang dipicu ajakan di media sosial.

5. Tuntutan para demonstran

Aksi Protes di Nepal. (x.com/AJEnglish).

Sejak awal, ada dua tuntutan utama para demonstran: pencabutan larangan media sosial, dan penghentian praktik korupsi yang dianggap merajalela di tubuh pemerintah.

Larangan media sosial memang sudah dicabut, tetapi mereka menegaskan aksi akan terus berlanjut hingga ada jaminan akuntabilitas dari pemerintah.

“Kami ingin korupsi berakhir di Nepal. Pemimpin harus bertanggung jawab. Gen Z tidak akan berhenti sekarang,” tegas Budhathoki.

Krisis ini disebut sebagai gelombang protes terbesar di Nepal dalam beberapa dekade terakhir. Meski Oli telah mundur, banyak pihak menilai tanpa perubahan nyata, kemarahan publik akan terus membara.

Mayor Kathmandu, Balen Shah, satu-satunya tokoh politik yang mendukung aksi ini, menyerukan agar demonstrasi dilakukan secara damai. Namun, seruannya belum cukup untuk meredam amarah generasi muda.

Dengan belum adanya kepemimpinan jelas, situasi Nepal saat ini masih abu-abu: antara transisi menuju reformasi politik atau spiral kekacauan yang lebih dalam.

Editorial Team