Warga memakai masker untuk melindungi diri dari penularan virus corona di Seoul, Korea Selatan, pada 25 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Hong-ji
Pandemik ini juga menimbulkan perdebatan di bidang kesehatan masyarakat mengenai pengobatan jarak jauh atau telemedicine. Praktik ini ilegal di Korea Selatan, tapi sejak virus corona menyebar, banyak dokter yang menerima konsultasi pasien lewat sambungan telepon.
Di antara mereka adalah orang yang diduga memiliki gejala COVID-19, sehingga para dokter ingin melindungi diri sendiri maupun staf kesehatan lainnya sembari tetap melaksanakan tugas.
Menurut data pemerintah yang dikutip The Korea Herald, antara 24 Februari hingga 10 Mei ada sekitar 260.000 tagihan pengobatan jarak jauh yang dikeluarkan oleh 3.853 rumah sakit di seluruh Korea Selatan. Ini menandakan ada tren penerimaan telemedicine kala wabah terjadi.
Meski begitu, banyak dokter yang menolak praktik tersebut berjalan secara penuh. Mereka khawatir ada pencurian data dan salah diagnosa terhadap pasien. Kementerian Perekonomian dan Keuangan Korea Selatan sendiri tidak serta-merta menolak atau mendukung, melainkan memilih berhati-hati.
"Kementerian Perekonomian dan Keuangan tetap pada posisi bahwa perlu ada tinjauan secara aktif terhadap implementasi layanan pengobatan jarak jauh," kata Wakil Menteri Kim Yong-beom.
KMA adalah satu satu yang menyatakan menolak. Presiden KMA Choi Dae-zip mengatakan kepada kantor berita Yonhap, pihaknya akan melawan rencana pemerintah jika memang benar terjadi.
"Kami tak punya pilihan lain selain berjuang dengan ekstrem jia pemerintah mendorong adanya telemedicine, sebab itu bisa mengesampingkan sistem kesehatan nasional," kata dia.