Jakarta, IDN Times - ASEAN Leaders Summit, yang dihelat secara mendadak pada Sabtu, 24 April 2021 untuk membahas situasi terkini Myanmar, memperlihatkan betapa para pemimpin Asia Tenggara menanggapi secara serius krisis kemanusiaan pasca-kudeta di Burma pada 1 Februari 2021.
Sejauh ini, tujuh presiden dan perdana menteri sudah mengonfirmasi kehadirannya. Begitu pula dengan dalang kudeta Jenderal Min Aung Hlaing. Hanya Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang akan absen pada pertemuan di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Indonesia.
Sejak pemimpin Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi dilengserkan, jutaan warga Myanmar melakukan unjuk rasa setiap hari sebagai bentuk protes terhadap rezim militer. Alhasil, sedikitnya 738 orang meninggal imbas bentrokan dengan aparat, lebih dari 250.000 warga mengungsi, lebih dari 3.000 orang ditetapkan sebagai tahanan politik, dan ratusan orang lainnya dihilangkan secara paksa.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN akan menunjukkan perannya sebagai problem solver? Atau pertemuan tersebut sekadar menunjukkan kapasitas ASEAN sebagai event organizer, yang berarti perjumpaan hanya sebatas formalitas belaka tanpa aksi konkret?
Harapan kepada ASEAN sangat tinggi. Betapa tidak, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mewanti-wanti, jika masyarakat dunia terlambat merespons situasi di Burma, maka bukan tidak mungkin negara tersebut akan menjadi the next of Syria in Southeast Asia.
“Negara-negara tidak boleh membiarkan kesalahan di Suriah (perang sipil) terulang kembali di tempat lain. Represi negara yang brutal terhadap rakyatnya menyebabkan beberapa individu mengangkat senjata, diikuti oleh kekerasan yang meluas dengan cepat di seluruh negeri,” kata Komisaris Tinggi Kantor HAM PBB Michelle Bachelet pada Selasa, 13 April 2021.