Dengan tingginya laporan DBD, banyak warga Bangladesh menyalahkan pihak berwenang lantaran dianggap tidak mengambil langkah tepat untuk memeriksa perkembangbiakan nyamuk Aedes.
“Saya telah pergi ke Korporasi Kota Selatan Dhaka beberapa kali dan meminta mereka untuk menyemprot obat nyamuk di daerah tersebut. Permohonan saya jatuh di telinga 'tuli'. Suatu hari, beberapa orang dari perusahaan kota datang dan mengambil foto saluran air. Mereka bercanda dengan kami,” kata aktivis yang berbasis di Dhaka, Mizanur Rahman.
Namun, kepala petugas kesehatan di Dhaka South City Corporation Fazle Shamsul Kabir menolak tuduhan tersebut, dengan mengatakan mereka telah melakukan kampanye kesadaran DBD di kota itu sejak Mei.
“Kami juga rutin melakukan pemberantasan nyamuk dan penyemprotan anti nyamuk. Masalahnya adalah jumlah lokasi konstruksi telah meningkat berlipat ganda dan merupakan tempat berkembang biak yang sempurna bagi nyamuk. Kami tidak memiliki cukup tenaga untuk memeriksa semua tempat,” katanya.
Sementara itu, Kabirul Bashar, seorang ahli entomologi di Universitas Jahangirnagar Dhaka, mengatakan bahwa DBD dulunya merupakan demam musiman. Namun, kini telah berubah menjadi fenomena selama setahun dalam dekade terakhir.
“Saya pikir itu terjadi karena perubahan iklim. Biasanya kisaran suhu 20-30 derajat celcius cocok untuk nyamuk Aedes berkembang biak. Kami sekarang mendapatkan konstan di atas 20 derajat bahkan selama musim dingin. Juga, kami menyaksikan hujan sebelum waktunya sepanjang tahun ini, ”katanya.
Minggu lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa setengah dari populasi dunia berisiko terinfeksi DBD. Kasus tersebut dilaporkan telah naik hingga delapan kali lipat dari 500 ribu sejak tahun 2000 menjadi 4,2 juta pada 2022, dikutip dari Anadalou Agency.