Ledakan Kilang Minyak Ilegal di Nigeria Tewaskan 37 Orang

Jakarta, IDN Times - Ledakan dan kebakaran di kilang minyak ilegal di wilayah Delta Niger, Nigeria menewaskan puluhan orang. Di antara korban adalah perempuan hamil.
Ledakan terjadi pada Senin (2/10/2023) di distrik Emohua di negara bagian River. Di wilayah tersebut banyak ditemui kilang ilegal. Menurut warga, jumlah korban tewas kemungkinan akan bertambah karena banyak jenazah hangus dan puluhan orang terluka.
Polisi telah mengonfirmasi insiden tersebut, namun tidak memberikan rincian detail. Sementara, penduduk mengatakan sebagian besar orang yang meninggal bekerja di kilang ilegal, yang berada di desa Rumucholu.
“Kebakaran terjadi pada larut malam, 18 korban terbakar hingga tidak dapat dikenali lagi, sementara 25 orang yang terluka berhasil diselamatkan,” kata juru bicara Korps Keamanan dan Pertahanan Sipil Nigeria setempat, Olufemi Ayodele.
“Sebagian besar korban adalah remaja, seorang wanita hamil dan seorang wanita muda yang sedang bersiap-siap untuk upacara pernikahannya bulan depan. Semuanya menjadi korban,” tambah Ayodele, dikutip Al jazeera.
1. Korban bertambah menjadi 37 orang
Sementara itu, Reuters melaporkan sebanyak 37 orang tewas dalam kobaran api.
“35 orang terjebak dalam api. Dua orang yang beruntung bisa melarikan diri juga meninggal pagi ini (Selasa) di rumah sakit,” kata kepala keamanan masyarakat, Rufus Welekem, kepada Reuters.
Penyulingan yang dilakukan secara ilegal sudah menjadi hal wajar di wilayah Delta Niger, yang dikenal dengan kaya minyak. Kemiskinan telah membuat penduduk setempat memanfaatkan jaringan pipa untuk membuat bahan bakar guna dijual kembali.
Praktik merebus minyak mentah dalam drum, dengan cara yang sederhana untuk mengekstrak bahan bakar, kerap berakibat fatal bagi pekerja.
Saat kejadian, para pekerja di lokasi sedang memurnikan minyak yang diambil dari pipa yang dirusak. “Ketika mereka menyendok dari tempat mereka merusak pipa, mereka akan menuju ke tempat mereka memasak. Itulah sebabnya api sampai ke sana,” kata seorang aktivis setempat, Chima Avadi.