https://unsplash.com/@firmbee
Pemerintah Sri Lanka memutuskan untuk memblokir media sosial setelah serangan bom bunuh diri yang mematikan. Ini sekaligus menunjukkan ketidakpercayaan yang semakin besar terhadap platform online. Pemerintah Sri Lanka mengatakan akan mempertahankan pemblokiran itu sampai investigasinya selesai.
Langkah ini dilakukan di tengah frustrasi pemerintah di seluruh dunia yang semakin meningkat terhadap platform internet atas perannya menyebarkan informasi yang salah dan hasutan untuk tindak kekerasan.
Menurut kelompok hak digital NetBlocks, Sri Lanka memblokir Facebook, Facebook Messenger, Instagram, Snapchat, Viber, WhatsApp dan YouTube. Langkah Sri Lanka memblokir jaringan sosial adalah yang kedua kalinya. Sebelumnya tindakan serupa dilakukan setelah pecahnya kekerasan pada 2018.
"Pemerintah di seluruh dunia, termasuk mereka yang mengeksploitasi media sosial dan media pemerintah telah menyadari risiko yang terkait dengan platform seperti WhatsApp. Mereka cepat mengambil tindakan sekarang setelah terorisme untuk mencegah desas-desus dan kerusuhan sosial," Jennifer Grygiel, seorang profesor komunikasi di Universitas Syracuse, dikutip dari AFP, Senin (22/4).
Akan tetapi para kritikus mengatakan langkah juga berpotensi membatasi aliran berita dan informasi penting. Menurut NetBlocks, kelompok hak digital dan kelompok keamanan dunia maya, penutupan di Sri Lanka dapat terbukti kontraproduktif dengan menghapus sumber informasi otentik.
"Pembatasan internet secara nasional mempercepat penyebaran disinformasi selama krisis karena sumber informasi otentik dibiarkan offline. Ini memungkinkan pihak ketiga untuk mengeksploitasi situasi demi keuntungan pribadi dan keuntungan politik," kata NetBlocks dalam cuitan di akun Twitter mereka.
Sementara itu Jennifer Grygiel menilai langkah pemerintah yang menutup platform jmedia sosial dengan mudah itu juga mengungkapkan seberapa besar kekuasaan dan kontrol pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. "Itu juga sekalgus memunculkan wacana perlunya melindungi kebebasan media."
Direktur Prakarsa HAM di Pusat Kajian Strategis dan Internasional--sebuah think tank di Washington, Amy Lehr menyebut langkah pemerintah Sri Lanka itu menyusahkan. "Kita semua memiliki simpati ketika ada serangan teroris, tetapi bagaimana jika itu adalah protes demokrasi di Iran?" Lehr bertanya.
"Siapa yang memutuskan apa itu darurat?"
Dengan memblokir Facebook, Sri Lanka juga mematikan fitur "pemeriksaan keamanan" jejaring sosial terkemuka yang memungkinkan pengguna untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga setelah bencana.
"Serangan-serangan ini mengerikan. Dan orang-orang membutuhkan platform media sosial untuk memperoleh informasi yang akurat & untuk menghubungi orang-orang yang dicintai," tulis Allie Funk, seorang peneliti dari kelompok hak asasi manusia Freedom House, dalam akun Twitternya seperti diberitakan AFP.
"Keputusan pemerintah untuk membatasi aplikasi ini adalah keputusan yang berbahaya."