Warga Palestina berkumpul di lokasi rumah-rumah yang hancur setelah serangan udara dan artileri Israel saat kekerasan lintas batas antara militer Israel dan militan Palestina berlanjut, di Jalur Gaza utara, Jumat (14/5/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammed Salem.
Meski terkesan sederhana, tapi pada praktiknya two-state solution sangat tidak mudah dilaksanakan. Masalah pertama adalah tentang garis perbatasan. Baik Israel maupun Palestina memiliki versi yang berbeda.
Situasi ini diperburuk dengan langkah unilateral Israel yang membangun tembok perbatasan dan perumahan untuk warganya di Tepi Barat di saat yang bersamaan Palestina juga mengklaim wilayah tersebut.
Selain Tepi Barat, Israel dan Palestina juga memperebutkan Yerusalem. Status kota tersebut juga sangat penting bagi kedua pihak yang mengklaimnya menjadi ibu kota dan pusat kehidupan beragama. Membagi Yerusalem—seperti yang termuat dalam two-state solution—juga bukan perkara mudah sebab situs suci milik Muslim, Kristen dan Yahudi dibangun saling tumpang tindih.
Pada Desember 2017, Presiden Amerika Serikat kala itu, Donald Trump justru menyampaikan rencana untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel itu menghancurkan harapan diadopsinya two-state solution.
Isu penting berikutnya adalah perbedaan persepsi terkait keamanan. Bagi Palestina, menjadi negara merdeka berarti Israel harus angkat kaki dari wilayah yang menjadi miliknya. Namun, untuk Israel, keamanan berarti memastikan bahwa organisasi garis keras Palestina, Hamas, dibumihanguskan. Perlu diingat bahwa Israel menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris karena tak ingin negara Yahudi itu berdiri.
Oleh karena itu, ketika Trump—yang berarti juga Amerika Serikat—mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, maka posisi Israel akan semakin kuat. Hal ini terutama terjadi karena Amerika Serikat adalah pihak kunci dalam proses negosiasi antara Israel dan Palestina.
Perwakilan pemerintah Palestina di Washington, Husam Zomlot, berkata kepada Reuters bahwa, "Jika langkah itu diambil, itu akan melahirkan konsekuensi yang sangat buruk. Itu bisa mengakhiri two-state solution karena Yerusalem adalah inti dari two-state solution."