Dikutip dari TIME, seorang peneliti dari Delma Institute yang berbasis di Abu Dhabi, Selim Sazak, berkata,"Siapa yang akan menghentikan Erdogan? Tak pernah ada yang bisa menghentikan Erdogan, tapi sekarang, bahkan kemungkinan formal untuk melakukan itu sudah dihapus dari hukum yang berlaku."
Erdogan mengatakan dengan kemenangannya itu, sebuah sistem pemerintahan yang membawa stabilitas politik dan keamanan akan diperkenalkan di Turki. Namun, dari kacamatanya yang lebih jelas, itu akan menjadikannya seorang pemimpin yang bisa melakukan apa saja yang ia rasa penting, tanpa ada hukum yang akan menuntut pertanggungjawaban.
Indikasi itu semakin kuat terasa sejak kudeta yang gagal pada Juli 2016 lalu. Ia menyalahkan sistem peradilan di Turki yang memungkinkan kudeta itu terjadi. Menurut Erdogan kala itu, mereka telah disusupi oleh pendukung-pendukung Fethullah Gulen, seorang penceramah Turki yang saat ini tinggal di AS. Oleh karena itu, begitu hasil referendum diresmikan, ia punya kuasa untuk merombak yudikatif sesuai kehendaknya.
Sejak kudeta, ia menggaungkan narasi bahwa kebebasan berpendapat itu justru mengancam Turki. Yang sebenarnya terjadi adalah hak tersebut mengancam posisinya. Misalnya, ia menahan para jurnalis yang ia rasa memiliki posisi berseberangan dengannya.
Salah satunya adalah jurnalis Kadri Gursel yang mengajak pembacanya memprotes sikap anti demokrasi Erdogan. Harga yang harus dibayar Gursel adalah penjara dengan tuduhan terlibat terorisme. Ia ditahan bersama dengan ratusan jurnalis lainnya. Atas aksinya, Erdogan mendapat kecaman dari sejumlah negara di Uni Eropa, termasuk Jerman.