Jakarta, IDN Times - Keputusan pemerintah Israel untuk memindahkan ibu kotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem mendapat kritik keras dari banyak negara. Hal yang menarik adalah ragam protes tidak hanya disuarakan oleh negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim.
“Unjuk rasa terlihat di banyak kota, seperti Jakarta, Amman, Istanbul, London, Paris, Toronto, Beirut, dan masih banyak lagi. Ini menjawab kalau klaim Israel atas Yerusalem bukan hanya masalah agama, tapi juga ada ketidakadilan atau diskriminasi di sana,” ujar M. Hamdan Basyar peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Senin (11/12).
Tindakan Israel dianggap melanggar Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 242 yang meminta negara Zionis tersebut untuk meninggalkan wilayah Palestina, termasuk Yerusalem Timur, setelah perang 1967. Kendati demikian, PBB dinilai tidak bisa berbuat banyak.
“Israel tidak pernah mundur menanggapi resolusi itu. Tapi kenapa PBB terkesan diam saja saat resolusinya diabaikan? Di antaranya karena perbedaan penerjemahan status Yerusalem. Bagi PBB itu adalah occupied territory (wilayah yang direbut karena perang), tapi bagi Israel itu adalah dispute territory (wilayah yang disengketakan). Karena itulah Israel merasa memiliki hak disana,” terangnya dalam seminar Konstelasi Baru Kepemimpinan di Timur Tengah.
Kemudian, Amerika Serikat (AS) menampakkan diri sebagai negara yang mendukung keputusan Israel tersebut. Menanggapi itu, Hamdan mewanti-wanti agar keputusan Presiden Donald Trump tidak menjadi bumerang bagi negerinya sendiri.
“Trump harus berhati-hati karena dia memiliki banyak kepentingan di banyak negara. Kalau memang benar semua negara tidak mendukung (kebijakan Israel), bisa saja kemudian seluruh produk AS diboikot di banyak negara,” tambahnya.