Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, bersama Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. twitter.com/MevlutCavusoglu
Jauh sebelum kemerdekaan penuh Republik Armenia dan Republik Azerbaijan dikumandangkan pada 28 Mei 1918, wilayah Kaukasus berada di bawah kontrol Kekaisaran Rusia. Setelah berusaha menaklukkan daerah tersebut sejak 1823, Kekaisaran Rusia akhirnya menyaksikan kedua etnis di Kaukakus itu menjadi republik.
Niall M Fraser dalam The Journal of Conflict Resolution menulis bahwa kedatangan Rusia ke Kaukasus mewarisi banyak konflik etnis, salah satunya antara Armenia dan Azerbaijan. Perbedaan yang mencolok antara kelompok etnis Armenia dan Azerbaijan terlihat dari budaya, bahasa, tulisan, hingga agama yang mereka anut.
Dalam artikel yang berjudul “A Conflict Analysis of the Armenian-Azerbaijani Dispute” di jurnal tersebut, Fraser menyebut masalah di kawasan itu menjadi tambah besar dengan adanya pembagian wilayah Kaukasus Selatan. Kekaisaran Rusia melakukan pembagian tanpa mempertimbangkan kompleksitas etnis yang dimiliki Armenia serta Azerbaijan.
Percobaan asimilasi yang digaungkan terbukti gagal karena perbedaan etnis yang begitu besar. Perseteruan yang terjadi antar Armenia dan Azerbaijan terus berlangsung akibat perebutan tanah leluhur berdasarkan alasan historis, seperti ditulis PL Dash di artikel “Nationalities Problem in USSR: Discord over Nagorno-Karabakh” dalam sebuah jurnal.
Sampai saat ini, kedua masyarakat dari masing-masing etnis terus beranggapan bahwa mereka sedang terancam aksi genosida. Mereka menilai satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan terus mempertahankan setiap tanah yang mereka miliki, salah satunya adalah Nagorno-Karabakh.
Jika dilihat dari lensa sejarah, sebagian besar etnis Armenia terus mengingat tragedi Genosida Armenia yang dilakukan Turki selama Perang Dunia Pertama. Mereka beranggapan suatu saat nanti Azerbaijan dapat melakukan hal yang sama terhadap Armenia dikarenakan persaudaraan sesama etnis Turki yang dimiliki Republik Azerbaijan dan Republik Turki.
Sementara itu, Azerbaijan memegang teguh memori mereka terhadap tragedi Pembantaian Khojaly pada 1992 ketika pasukan Armenia mencoba melakukan "pembersihan" etnis Azerbaijan. Peristiwa di sebuah desa di Nagorno-Karabakh itu, membuat ratusan hingga ribuan orang dibantai. Kedua alasan ini dari masing-masing kelompok etnis, menjadi indikator terkuatnya untuk terus mengedepankan konfrontasi ketimbang perdamaian.