Orang-orang di Darfur Timur, Sudan pada 30 Juni 2022 melakukan protes menentang kekuasaan militer. (Twitter.com/Mohamed Mustafa - امع)
Melansir Associated Press, pengumuman ini muncul setelah ada sembilan orang tewas dan sedikitnya 629 terluka, akibat tindakan keras pasukan keamanan dalam protes besar-besaran pada 30 Juni. Protes itu menuntut diakhirinya kekuasaan militer dalam pemerintahan, menurut keterangan Komite Dokter Sudan.
Pihak keamanan telah menggunakan kekerasan untuk menghalangi aksi pengunjuk rasa yang terjadi hampir setiap minggu sejak kudeta 25 Oktober pada tahun lalu. Sejauh ini, serentetan aksi telah menewaskan 113 orang, termasuk 18 anak-anak.
Hiba Morgan, Jurnalis Al Jazeera, menyampaikan bahwa para pengunjuk rasa telah menegaskan tuntutan untuk meminta militer mengakhiri kekuasaan. Dia yakin pengumuman Al-Burhan tidak akan menenangkan demonstran, karena menganggap penyatannya menunjukkan militer akan tetap terlibat sampai ada kesepakatan mengenai pemerintahan baru.
“Itu tidak cocok dengan para pengunjuk rasa. Mereka telah menuntut, selama tujuh bulan, bahwa mereka ingin melihat militer disingkirkan sebelum mereka melihat segala bentuk negosiasi terjadi antara partai-partai politik untuk membentuk pemerintahan transisi yang dipimpin oleh warga sipil. Ketika datang ke partai politik, mereka mengalami masalah dalam mencapai konsensus itu," kata Morgan.
“Dan jangan lupa bahwa pada hari pengambilalihan, Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan mengatakan bahwa perbedaan politik antara partai-partailah yang membuat tentara mengambil alih kekuasaan dan membubarkan pemerintah transisi yang dimaksudkan untuk memimpin Sudan menuju demokrasi," tambahnya.