Ilustrasi kerusuhan (Unsplash.com/Alex McCarthy)
Upaya perbaikan sistem demokrasi Myanmar menuju arah yang terlihat baik. Pada tahun 2015, partai Liga Nasional untuk Demokrasi milik Aung San Suu Kyi dengan telak memenangi pemilu. Secara de facto, Myanmar dipimpin oleh Suu Kyi. Akan tetapi, junta militer, Tatmadaw, secara luas masih memegang kendali keamanan negara.
Pada tahun 2017, terjadi gejolak di Myanmar, khususnya di negara bagian Rakhine. Di wilayah itu, terjadi bentrokan antara etnis minoritas Rohingya dengan pasukan keamanan negara dan etnis lain.
Selama beberapa dekade, menurut Council on Foreign Relations (CFR) telah melakukan diskriminasi terhadap Rohingya. Bahkan diskriminasi itu terlembagakan. Pembatasan dilakukan dalam pernikahan, pekerjaan, pendidikan, dan kebebasan bergerak.
Selain itu, negara bagian Rakhine adalah bagian paling tidak berkembang dengan tingkat kemiskinan 78 persen. Hal ini memperburuk situasi perpecahan antara masyarakan Islam dan Buddha yang mayoritas.
Ketegangan itu kemudian meletus menjadi bentrokan mematikan. Lebih dari satu juta Rohingya melarikan diri. Perburuan desa-desa Rohingya dilakukan, rumah-rumah dibakar. Etnis Rohingya jadi korban kekerasan, rudapaksa, dan pembunuhan.
Pada bulan pertama bentrok yakni Agustus 2017, sekitar 6.700 Rohingya tewas. Junta militer menembaki warga sipil dengan peluru tajam. Bahkan junta juga memasang ranjau darat di daerah penyeberangan perbatasan untuk mencegah Rohingya yang berusaha melarikan diri ke Bangladesh.
Aung San Suu Kyi saat itu menyebut tidak ada genosida di Myanmar dalam peristiwa itu. Dia banyak dikritik dan dikecam oleh aktivis.
Aela Callan dari Al Jazeera yang pernah mewawancarai orang-orang Myanmar era Liga Nasional untuk Demokrat berkuasa, menyebut bahwa Suu Kyi adalah pemimpin partai demokrasi yang memimpin dengan cara diktator.
Callan mengutip ucapan orang-orang tersebut dengan syarat anonim "Dia (Suu Kyi) memperlakukan kami seolah-olah kami adalah anak sekolah dan kami tidak berani menanyainya sebagai yang lebih tua."