Para analis mengatakan bahwa jika para Menlu G7 benar-benar mengeluarkan komunike setelah pertemuan itu, kemungkinan besar hal tersebut akan mengatasi konflik secara umum, yang mencerminkan berbagai keprihatinan, serta perbedaan loyalitas politik dan ekonomi kelompok tersebut.
"Masyarakat Eropa terpecah dan perpecahan ini juga terlihat jelas di G7," kata Thomas Gomart, direktur French Institute of International Relations, dikutip dari Reuters.
Para analis juga berpendapat bahwa masalah yang rumit adalah Ketua G7 saat ini, Jepang, yang dianggap mengambil pendekatan yang hati-hati terhadap krisis tersebut. Tokyo menolak tekanan untuk mengambil sikap pro-Israel dari sekutu terdekatnya, AS.
Sejak awal konflik, Jepang telah mengupayakan respons yang seimbang, sebagian karena kepentingan diplomatiknya yang beragam di wilayah tersebut. Juga, ketergantungannya pada Timur Tengah untuk mendapatkan minyak. Meningkatnya korban jiwa di Gaza telah memperkuat pendekatan hati-hati Tokyo.
Menurut Hideaki Shinoda, seorang profesor di Tokyo University of Foreign Studies, G7 memerlukan proposal konkrit ihwal bagaimana mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza, di mana bahan bakar, makanan, air, dan pasokan medis langka. Hal ini juga mungkin akan menjadi tugas berat.