Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi (Unsplash.com/maxx ❄)
ilustrasi (Unsplash.com/maxx ❄)

Jakarta, IDN Times - Parlemen Prancis mendukung rancangan undang-undang (RUU) tentang larangan diskriminasi tekstur dan gaya rambut di tempat kerja. RUU itu disahkan pada Kamis (28/3/2024).

Para pendukung RUU tersebut berpendapat, aturan itu terutama untuk melindungi hak perempuan kulit hitam yang memilih menata rambut dengan gaya alami.

Oliver Serva, waki Majelis Nasional dari pulau Guadeloupe di Karibia Perancis dan sponsor RUU, mengatakan peraturan itu akan menghukum segala diskriminasi di tempat kerja berdasarkan gaya, warna, panjang atau tekstur rambut. Itu juga akan membantu korban agar perjuangan mereka terlihat di pengadilan.

1. Penderitaan berdasar diskriminasi rambut

ilustrasi (Unsplash.com/Gift Habeshaw)

Di Amerika Serikat (AS), sebanyak 23 negara bagian mengakui diskriminasi rambut sebagai manifestasi rasisme. Di Prancis, statistik diskriminasi rambut kurang jelas.

Dilansir VOA News, Serva merujuk penelitian yang dilakukan pada 2023 yang menunjukkan, sekitar dua pertiga perempuan kulit hitam di AS mengubah rambut sebelum wawancara karena alasan lebih mungkin dianggap tidak profesional.

"Ada banyak penderitaan (berdasarkan diskriminasi rambut), dan kita perlu mempertimbangkan hal ini," katanya.

2. Istilah rasisme yang tidak ada dalam RUU

Meski sudah disahkan, tapi RUU itu disebut kontroversial. Hanya 44 anggota parlemen yang menyetujui, dengan sebagian besar anggota memilih untuk tidak memberikan suara. RUU masih membutuhkan persetujuan Senat yang anggotanya didominasi konservatif dan mungkin akan mendapat tantangan.

Dilansir BBC, RUU juga tidak secara khusus menargetkan diskriminasi berbasis ras atau rasisme. Pegiat antirasisme mengatakan, tidak memasukkan istilah rasisme merupakan masalah dalam RUU itu.

"Menjadikan diskriminasi hanya pada rambut berarti menutupi masalah orang-orang yang rambutnya dijadikan target diskriminasi, kebanyakan perempuan kulit hitam," kata Daphne Bedinade, seorang antropolog sosial.

Fabien Di Filippo, dari kelompok konservatif Les Republicains, mengatakan RUU tersebut mubazir. RUU disebut bertujuan memasukkan pola pikir AS ke Prancis.

"Haruskah kita besok mengharapkan adanya RUU tentang diskriminasi terhadap orang-orang botak, yang menurut saya kurang terwakili dalam iklan sampo?" katanya.

3. Bukan hanya masalah rambut saja

ilustrasi (Unsplash.com/Clarke Sanders)

Prancis telah memiliki aturan larangan mengumpulkan data resmi tentang ras. Berdasarkan prinsip tersebut, Prancis tidak membedakan warga berdasarkan kelompok etnis sehingga sulit untuk mengukur diskriminasi rambut berdasar ras.

Dilansir Associated Press, namun para pendukung RUU berharap dapat menjawab perjuangan masyarakat kulit hitam Prancis untuk mendapatkan rambut alami mereka.

Aude Livoreil-Djampou, seorang penata rambut memandang RUU tersebut berkaitan dengan hal yang lebih mendalam.

"Ini bukan hanya masalah rambut. Ini akan memberi kekuatan kepada masyarakat untuk bisa menjawab, ketika diminta meluruskan rambut, mereka bisa mengatakan: 'Tidak, ini tidak sah, Anda tidak bisa mengharapkan itu dari saya, itu tidak ada hubungannya dengan kompetensi profesional saya,'" katanya.

Vallois, salah satu pelanggan, berharap putrinya yang berusia 5 tahun akan hidup di masa depan yang tidak terstigmatisasi berdasar rambut.

"Ketika saya masih muda, saya ingat menyesali kurangnya salon dan bahkan produk rambut (untuk rambut keriting), sayangnya, ada suatu masa ketika kita harus menggunakan produk yang dirancang untuk rambut Eropa dan tidak disesuaikan dengan rambut kita. Saya senang, hari ini, segalanya lebih mudah diakses dan ada perubahan," katanya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorPri Saja