Ada banyak alasan mengapa anak-anak terlibat aktif dalam konflik bersenjata di seluruh dunia. Beberapa alasan tersebut di antaranya adalah karena anak-anak diculik dan dipaksa untuk tunduk. Alasan lain bergabung dengan kelompok militer yakni ingin keluar dari kemiskinan, untuk membela komunitas mereka, atau karena dendam serta karena alasan lain.
Anak-anak yang terlibat dalam konflik memiliki beragam fungsi dan peran. Melansir dari laman resmi PBB, anak-anak tersebut ada yang langsung jadi kombatan sampai jadi juru masak. Ada pula yang jadi mata-mata, pembawa pesan, dan bahkan budak seks.
Anak-anak juga sering digunakan sebagai pelaku aksi teror, termasuk sebagai pelaku bom bunuh diri. Setiap tahun, PBB menerima laporan tentang anak-anak berusia 8 atau 9 tahun yang terlibat dengan kelompok bersenjata, baik karena paksaan atau karena alasan lain.
Pada tahun 2000, Majelis Umum PBB telah membuat Protokol Opsional tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata. Dalam protokol yang telah diratifikasi oleh mayoritas negara di dunia, ada lima pokok aturan inti yang mengatur keterlibatan anak-anak dalam konflik.
Lima aturan inti tersebut adalah:
- Negara tidak boleh merekrut anak-anak di bawah usia 18 tahun untuk mengirim mereka ke medan perang.
- Negara bagian tidak boleh mewajibkan militer di bawah usia 18 tahun.
- Negara harus mengambil semua tindakan yang mungkin untuk mencegah perekrutan semacam itu–termasuk undang-undang untuk melarang dan mengkriminalisasi perekrutan anak-anak di bawah 18 tahun dan melibatkan mereka dalam permusuhan.
- Negara akan mendemobilisasi siapa pun yang berusia di bawah 18 tahun dalam wajib militer atau digunakan dalam permusuhan dan akan memberikan layanan pemulihan fisik, psikologis dan membantu reintegrasi sosial mereka.
- Kelompok bersenjata yang berbeda dari angkatan bersenjata suatu negara tidak boleh, dalam keadaan apa pun, merekrut atau menggunakan dalam permusuhan siapa pun anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun.
Antonio Guterres dalam laporannya yang terbaru kepada Dewan keamanan menyebutkan ada pelanggaran yang telah dilakukan terhadap 19.379 anak dalam 21 konflik di seluruh dunia pada tahun 2020. Sebagian besar pelanggaran terjadi di Somalia, Republik Demokratik Kongo, Afghanistan, Suriah, dan Yaman.