Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi unjuk rasa di Kuba. (unsplash.com/Ricardo IV Tamayo)
ilustrasi unjuk rasa di Kuba. (unsplash.com/Ricardo IV Tamayo)

Intinya sih...

  • Resolusi disahkan dengan 165 suara mendukung, 7 menolak, dan 12 abstain.

  • Tujuh negara baru menentang resolusi embargo Kuba, termasuk Argentina, Hungaria, Paraguay, Makedonia Utara, dan Ukraina.

  • Embargo ekonomi terhadap Kuba dimulai sejak tahun 1960 oleh AS.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times- Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (29/10/2025), kembali mengadopsi resolusi yang menuntut Amerika Serikat (AS) mengakhiri embargo ekonomi, komersial, dan finansial terhadap Kuba. Ini adalah desakan tahunan yang sudah berlangsung selama 33 tahun berturut-turut, di mana mayoritas besar negara anggota PBB mendesak Washington mencabut sanksi tersebut.

Resolusi ini disetujui dengan total 165 suara mendukung, 7 menolak, dan 12 abstain, menunjukkan penolakan komunitas internasional terhadap langkah-langkah unilateral AS. Namun, hasil voting kali ini menunjukkan adanya pergeseran dukungan di mana beberapa negara memilih untuk menentang resolusi, bergabung dengan AS dan Israel, dilansir The Independent.

1. Jumlah negara menolak dan abstain meningkat

Terdapat pergeseran dukungan dalam voting tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun lalu resolusi disahkan dengan 187 suara setuju, sementara hanya AS dan Israel yang menolak, serta satu negara abstain. Kini, kelompok negara penentang resolusi embargo Kuba bertambah menjadi tujuh, mencakup Argentina, Hungaria, Paraguay, Makedonia Utara, dan Ukraina.

Pergeseran ini terjadi di tengah mencuatnya isu dukungan Kuba terhadap Rusia, yang kini tengah menginvasi Ukraina. Laporan juga menyebutkan adanya warga negara Kuba yang dilaporkan bertempur di pihak Moskow dalam konflik tersebut.

Beberapa negara, termasuk Polandia, memilih untuk abstain dalam pemungutan suara ini. Polandia, yang juga berbicara atas nama Ceko, Estonia, Latvia, dan Lituania, menilai Kuba telah menerapkan Piagam PBB secara selektif.

Mereka menjelaskan bahwa keputusan mereka untuk abstain mencerminkan kekhawatiran atas dukungan Kuba terhadap invasi Rusia yang sedang berlangsung. Menurut mereka, keterlibatan asing dalam perang agresi ilegal adalah pelanggaran terhadap Piagam PBB dan hukum internasional, dilansir UN News.

2. AS minta PBB berhenti memanjakan Kuba

Embargo ekonomi yang diterapkan AS terhadap Kuba dimulai sejak tahun 1960, setelah revolusi Fidel Castro menumbangkan diktator Fulgencio Batista. AS menentang resolusi ini sejak 1992, kecuali pada 2016 ketika mantan Presiden Barack Obama sempat memulihkan hubungan diplomatik dengan Kuba.

Pemerintahan berikutnya, termasuk Donald Trump dan Joe Biden, kembali menentang resolusi dan bahkan memperketat sanksi. Resolusi PBB ini tidak mengikat, artinya hanya bersifat nasihat dan mencerminkan pandangan komunitas internasional.

Duta Besar AS untuk PBB, Mike Waltz, menyebut proses voting tahunan ini sebagai teater politik yang dimanfaatkan Kuba. Ia mendesak negara-negara anggota PBB untuk berhenti memanjakan rezim Kuba.

"Saya akan menyarankan agar negara-negara anggota PBB berhenti memanjakan rezim ini dengan suara mereka dan sebaliknya menggunakan suara ini untuk mengirim pesan kepada dunia," ujar Waltz.

3. Kuba mengaku rugi miliaran dolar AS akibat embargo

Kuba kerap menyalahkan sanksi AS tersebut atas krisis ekonomi di negaranya. Negara ini dilanda krisis ekonomi dan energi sejak 2020, yang ditandai dengan inflasi, kelangkaan pangan, dan pemadaman listrik.

Pemerintah Kuba mengklaim kerugian akibat sanksi AS melebihi 7,5 miliar dolar AS (Rp124,7 triliun) dalam periode Maret 2024 dan Februari 2025. Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodriguez Parrilla mengecam AS dan menolak tuduhan Washington bahwa Kuba mendukung organisasi teroris.

"Blokade ini adalah kebijakan hukuman kolektif. Kebijakan ini secara terang-terangan, masif, dan sistematis melanggar hak asasi manusia rakyat Kuba. Kebijakan ini tidak membedakan sektor sosial maupun pelaku ekonomi," ujar Parrilla kepada majelis sebelum pemungutan suara, dilansir Al Jazeera.

Meskipun menghadapi kesulitan, Parrilla menegaskan bahwa Kuba tidak akan pernah menyerah pada tekanan AS. Ia juga menuduh AS telah menekan negara-negara lain agar abstain dalam voting.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team