Pendukung pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi melakukan protes di luar Pengadilan Internasional (ICJ), sebelum kedatangannya pada sidang hari kedua untuk kasus yang dilaporkan oleh Gambia terhadap Myanmar atas dugaan genosida terhadap minoritas populasi Muslim Rohingya, di Den Haag, Belanda, pada 11 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman
Puluhan korban nyawa, ratusan orang terluka, deretan mobil meriam air, hingga puluhan selongsong gas air mata tidak melemahkan minat jutaan warga Myanmar turun ke jalan. Mereka menuntut pembebasan atas pemimpin de facto sekaligus penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, serta tahanan politik lainnya.
Kelompok pemantau dari Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP) melaporkan, lebih dari 1.200 orang telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tahanan politik sejak kudeta. Diperkirakan masih ada 900 orang berada di balik jeruji besi menanti dakwaan.
"Kami tahu bahwa kami selalu bisa ditembak dan dibunuh dengan peluru tajam, tapi tidak ada artinya tetap hidup di bawah junta, jadi kami memilih jalan berbahaya ini untuk melarikan diri," kata aktivis Maung Saungkha kepada Reuters.
"Kami akan melawan junta dengan cara apapun yang kami bisa. Tujuan akhir kami adalah untuk menghilangkan sistem junta dari akarnya," sambung Saungkha, seraya menambahkan bahwa protes di sejumlah kota masih akan berlangsung hari ini, Kamis (4/3/2021).