Kondisi pengungsi di Tigray tidak hanya terdiri dari warga Tigray korban konflik akan tetapi juga warga Eritrea yang melarikan diri dari negaranya sejak tahun 2000-an lalu. Presiden Eritrea yang bernama Isaias Afwerki, disebut memiliki catatan yang buruk tentang hak asasi manusia dan sistem dinas militer paksa telah menyebabkan beberapa orang menjuluki Eritrea "Korea Utara di Afrika.
Banyak warga Eritrea yang merlarikan diri dari pemerintahan otoriter Isaias Afwerki. Jumlah mereka yang mengungsi di wilayah Tigray sekitar 95.000 orang sebelum perang meletus antara TPLF dengan militer federal.
Pada awal pertempuran pada November 2020, militer Eritrea disebut telah menyeberang ke Tigray dan membantu militer federal Ethiopia memerangi TPLF. Beberapa catatan mengemukakan tuduhan bahwa pasukan Eritrea terlibat dalam pelanggaran seperti penjarahan, pembantaian dan aksi rudapaksa massal terhadap warga Tigray.
Melansir laman Daily Sabah, kepala lembaga pengungsi Ethiopia (ARRA) yang bernama Tesfahun Gobezay menjelaskan banyak pengungsi yang takut dikaitkan dengan tentara Eritrea dan dijadikan sebagai objek balas dendam.
Tahun lalu, dua kamp pengungsi Eritrea di Tigray utara yang berlokasi di Hitsats dan Shimelba, dijarah dan kemudian dihancurkan sepenuhnya oleh militan pro-TPLF. Lebih dari 5.000 pengungsi di dua kamp yang hancur tersebut, ditempatkan di Mai Aini dan Adi Harush.
Selain itu, kekacauan juga melanda sektor medis warga sipil. Juru bicara WHO yang bernama Fadela Chaib, mengatakan 3,8 juta orang di wilayah Tigray membutuhkan bantuan kesehatan, tetapi fasilitas kesehatan telah dijarah dan dihancurkan. "Layanan kesehatan di Tigray sangat terbatas, menyebabkan ratusan ribu orang, termasuk mereka yang terluka selama pertempuran, wanita hamil dan penyintas kekerasan seksual, tidak (memiliki) akses yang memadai ke obat-obatan penting dan perawatan dasar," kata Chaib seperti dilansir Anadolu.